Menakar Reformasi Pers Kita

CNN Indonesia
Kamis, 26 Okt 2017 10:20 WIB
Di tengah membeludaknya jumlah media massa di Indonesia, kejernihan pemberitaannya pun terancam. Apa solusinya?
Ilustrasi mengakses berita melalui gadget (Foto: Thinkstock/Rawpixel)
Jakarta, CNN Indonesia -- Jumlah media online di Indonesia saat ini mencapai 43.300 media. Semoga tidak disalahgunakan untuk meraup keuntungan dengan menyebar isu kebencian seperti Saracen. Media arus utama atau kerap disebut media mainstream merupakan salah satu sumber informasi yang paling digemari masyarakat di era digital ini.

Untuk itu akurasi berita sangat perlu diperhatikan sesuai UU Pers dan Kode etik Jurnalistik. Jumlah media itu merupakan data dari Dewan Pers. Tapi masih banyak media di daerah yang belum terverifikasi oleh Dewan Pers.

Semangat reformasi Pers, seperti kita semua tahu bersama dicetuskan dalam UU 40 Tahun 1999 tentang Pers, pada tanggal 23 September 1999, pasca kekuasaan Orde Baru runtuh dan B.J. Habibie naik sebagai Presiden.
Wartawan diberi kebebasan untuk mencari dan menyampaikan informasi.

Sejak disahkannya UU Pers, memang banyak kritikan, antara lain, pers dianggap tidak mampu melindungi masyarakat dari praktik penyalagunaan profesi wartawan dan pornografi. Pada kurun waktu 2000-2010, pengaduan masyarakat kepada Dewan Pers terkait pemberitaan mencapai 2.313 kasus.

Sementara pada 2011-2017 jumlah laporan masyarakat yang masuk malah naik jadi 4.311 kasus. Ini angka yang sangat fantastis di era reformasi Pers berlangsung. Ditopang banyaknya media abal-abal yang mendompleng arus medsos, hoax ada di mana-mana dan memancing perpecahan kalau media seperti ini dibiarkan di bumi Indonesia.

Landasan akademik ala Masterman
Masterman menunjukkan bahwa media adalah agen komunikasi. Masterman berpendapat terhadap perspektif ini dan dimasukkannya media pada umumnya ke program studi ilmu komunikasi untuk beberapa alasan. Masterman berpendapat bahwa komunikasi seperti bidang akademik tidak memiliki disiplin, gagal untuk mengakui perbedaan antara bentuk-bentuk komunikasi interpersonal dan pengaturan dimediasi, berusaha untuk mengembangkan suatu model komunikasi top-down, didorong ideologis, dan kekurangan setiap temuan-temuan penting. Dalam beberapa hal, argumen Masterman tampaknya menunjukkan bahwa perspektif ini cacat dalam lingkup terbatas dan gagal untuk mempertimbangkan isu-isu yang lebih luas di media.

Ini membuktikan masyarakat sudah menyadari betul bahwa kebebasan pers sudah kebablasan. Ini bisa saja karena pengetahuaan wartawan yang minim soal komunikasi terutama jurnalistik, di mana disematkan dalam kode etik jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik harus menjadi senjata bagi wartawan. Kode etik ini memuat 11 pasal dan yang paling dalam 11 pasal itu adalah pemberitaan pers harus cover both side, tidak boleh menyiarkan berita bohong, atau tren disebut hoax dan berita yang menyebabkan konflik antar golongan atau agama tertentu.

Persaingan media baik nasional maupun lokal di daerah masif dilakukan. Apalagi kalau saat pilpres atau saat pemilu, dan pilkada. Untuk itu, banyak media di daerah menciptakan kompetisi yang seringkali menyebabkan wartawan mengejar target. Kalau tidak memenuhi target, besar kemungkinan membuat berita karangan yang bukan fakta melainkan fiksi.

Dengan adanya kebebasan pers era digital ini, memang banyak sekali muncul pers, terutama daerah hanya untuk meraup keuntungan pasca pilkada atau pemilu. Dan ada juga media milik kandidat tertentu atau tokoh partai tertentu guna melanggengkan jabatan atau menyukseskan dalam pilkada. Banyak sekali modus digunakan bertameng media akhir-akhir ini, bahkan wartawan ada juga yang menjadi tim sukses calon tertentu.

Menghidupkan Ruh Pers
Itulah fenomena media akhir-akhir ini. Ini sebenarnya tidak boleh dibiarkan akan berdampak buruk bagi wajah pers dan media di Indonesia. Setiap wartawan bisa dilaporkan ke Dewan Pers, dan setiap wartawan wajib hukumnya menaati Etika Jurnalistik dan pembekalan Ilmu Jurnalistik. Agar media ke depan bisa memhami fungsi mereka sebagai kontrol masyarakat maupun pemerintah dan selalu menjunjung tinggi independensi dalam pemberitaan.

Damianus Febrianto Edo
Mahasiswa, Komunikasi, Jurnalistik, IISIP Jakarta
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER