Semua Berhak Berprestasi, Termasuk yang Difabel

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Rabu, 01 Nov 2017 11:58 WIB
Setiap anak di dunia ini pun memiliki hak yang sama untuk terus berkembang dan berprestasi termasuk teman-teman kita yang berkebutuhan khusus.
Penyambutan kontingen paralimpiade Indonesia. (Foto: CNN Indonesia/M. Arby Rahmat)
Bandung, CNN Indonesia -- Sebelum mencerca kekurangan orang lain, tengoklah pada diri sendiri. Setiap orang punya kekurangan, hanya saja ada yang sangat kentara atau terselubung
- Saskhya Aulia Prima
Psikolog Anak dan Keluarga

Berbicara mengenai manusia, maka erat kaitannya dengan keragaman. Pada dasarnya manusia diberikan kelebihan dan kekurangan masing-masing yang pada akhirnya membuat kita bisa saling menghargai dan mengisi satu dengan yang lainnya. Termasuk pada teman-teman kita penyandang difabel.

Difabel sendiri merupakan kependekan dari Different Ability yang berarti para penyandang difabel memiliki kemampuan yang berbeda dan unik. Oleh karena itu, yang perlu kita lakukan adalah bertoleransi dan memahami sehingga kemerdekaan dalam segala hal dapat kita perjuangkan bersama.

Dengan dasar setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing maka yang juga perlu dilakukan adalah dengan menerima dan mensyukurinya. Setiap anak di dunia ini pun memiliki hak yang sama untuk terus berkembang dan berprestasi termasuk teman-teman kita yang berkebutuhan khusus.

Indonesia bahkan baru-baru ini memperoleh prestasi besar lewat menjadi juara umum pada ASEAN Para Games 2017 lalu, perolehan medali kontingen Merah Putih tak lagi bisa dikejar pesaing terdekat, yaitu tuan rumah Malaysia. Prestasi ini diraih oleh para atlet yang menyandang difabel.

Maka seharusnya kita menyadari dari hal ini bahwa manusia memang benar-benar memiliki kelebihannya masing-masing. Termasuk para penyandang difabel yang memiliki kemampuan untuk berprestasi dan membanggakan bangsa Indonesia.

Pada ajang itu, kontingen Merah Putih sukses meraih 126 emas, 75 perak, dan 50 perunggu. Indonesia bahkan berhasil memecahkan 36 rekor, yakni 28 rekor di cabang renang, 4 atletik dan 4 angkat berat. Suatu prestasi yang membuktikan bahwa kerja keras dan kekuatan mental bisa menjemput prestasi bagi siapa saja.

Pendidikan Inklusi dan Toleransi
Menurut Psikolog bidang anak-anak dan keluarga, Saskhya Aulia Prima M.Psi, hal pertama yang harus dilakukan oleh orang tua dalam menangani anak-anak dengan kebutuhan khusus adalah menerima dan mensyukurinya. “Para orang tua khususnya ibu-ibu yang fokus terhadap pengembangan kemampuan anaknya yang menyandang autisme, tingkat stresnya akan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan ibu-ibu yang tidak menghadapi tantangan anaknya ini,” katanya.

Selain itu, faktor yang dapat mengurangi stres yakni dukungan dari lingkungan. Jika semuanya terjadi dengan dukungan yang baik, maka pengembangan kemampuan dan pengurangan gejala autisme dari teman-teman bisa perlahan-lahan berjalan, meskipun tidak bisa hilang 100 persen.

Di Indonesia sekarang pun sudah bermunculan sekolah inklusi yang bisa mendukung pengembangan mental dari para penyandang difabel. Di sekolah inklusi mereka bisa berinteraksi dengan anak-anak lain yang normal.

Memang dalam hal pendidikan, selama ini masih banyak yang berpikiran bahwa penyandang disabilitas terutama anak-anak disabilitas perlu disekolahkan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Padahal menurut Psikolog untuk Keluarga dan Anak, Saskhya Aulia Prima, bahwa anak dengan kebutuhan khusus sangat dianjurkan untuk melakukan sosialisasi dengan anak-anak yang lainnya.

Anak-anak difabel justru tidak seharusnya disembunyikan atau dipisahkan dengan lingkungannya Mereka perlu bersosialisasi dengan anak-anak lainnya. Hal ini akan mengasah kemampuan berinteraksi anak dengan lingkungannya. Bila anak dengan kebutuhan khusus hanya berada di lingkungan yang monoton akan membuat pemikiran dan wawasan anak tersebut terkungkung.

Untuk itu, pemerintah sudah mengizinkan untuk penyelenggaraan Sekolah Inklusi yang bisa dijadikan alternatif para orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah inklusi pilihan. Mereka akan mendapatkan kesempatan yang lebih baik karena belajar bersama anak-anak non-disabilitas lainnya. Lewat sekolah inklusi pun, anak-anak yang non berkebutuhan khusus bisa ikut belajar langsung untuk menerapkan pemahaman toleransi terhadap teman-temannya yang memiliki kebutuhan khusus.

Selain itu, Saskhya pun berpesan agar kita sebagai maanusia harus menghargai dan bertoleransi kepada sesama manusia termasuk terhadap teman-teman yang memiliki kebutuhan khusus. Kita pun dianjurkan untuk tidak mudah dalam memberikan label terhadap sesuatu yang menjadi kekurangan diri kepada orang lain, meskipun itu bernada gurauan saja. Misalnya dengan melabeli bahwa orang yang sering bermain ponsel itu sebagai orang yang autis. Kita perlu berhati-hati, apabila kita mengatakan hal tersebut lalu ada teman penyandang difabel di sebelah teman kita tentunya itu merupakan hal yang tidak menyenangkan.

Sebaiknya semua perbedaan itu kita hargai. Jangan sampai kalau kita mengatakan orang lalu kita merasa paling normal sedunia. Tentunya tidak mutlak seperti itu. Pasti kita sebagai individu memiliki permasalahan. Apakah misalnya kita orangnya secara emosional itu kalau lagi marah, susah turunnya atau misalnya kalau di tempat baru dan umum masih merasa gugup itu juga pasti ada dalam diri individu. Sebelum kita mengatakan kelemahan orang lain, kita juga punya sebenernya (kekurangan diri) cuma memang tidak kentara saja. Bertoleransilah. Kita semua sama.

Hilda Julaika
Mahasiswa Prodi Ilmu Jurnalistik, Fikom, Universitas Padjadjaran
Awardee Beasiswa Aktivis Nusantara (ded/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER