Meme Sebagai Ekspresi Kritik, Bisakah Kita Menerima

Indra Kurniawan | CNN Indonesia
Senin, 06 Nov 2017 10:58 WIB
Meme adalah salah satu pilihan untuk mengekpresikan pemikiran. Bisakah kita menerimanya sebagai ekspresi kritik?
Ilustrasi (Foto: Thinkstock/Rawpixel)
Jakarta, CNN Indonesia -- Di dalam jaringan internet, dunia kini seolah tak terbatas oleh ruang dan waktu. Generasi muda tak dapat dibendung dalam mengekspresikan pendapat melalui beragam medium. Meme merupakan salah satu medium yang kini kian digandrungi.

Teknologi komunikasi dan informasi begitu dahsyat berkembang seiring bergulirnya waktu. Era kekinian, teknologi berkembang pesat dan membawa masyarakat untuk masuk pada era serba cepat. Sebuah era yang disebut-sebut sebagai dampak globalisasi ini berakibat pada tertanamanya paradigma pola hidup mesti serba cepat.

Aktivitas komunikasi pun seolah tanpa sekat dan serba cepat. Jarak dan waktu bukan lagi alasan untuk mengonsumsi informasi, cukup dengan ketukan jemari pada layar gawai.

Ditangkapnya pembuat meme mengenai Setya Novanto menjadi salah satu isu yang sedang bergulir pada lintasan pemberitaan. Dengan cepat, berita tentang keberhasilan divisi siber kepolisian melacak pembuat dan penyebar meme dan menjadi perbincangan publik.

Pun serupa dengan produk meme yang diproduksi beberapa saat setelah publikasi foto Setya Novanto sedang terbaring di rumah sakit. Meme dengan dasar foto Novanto tersebut yang ditambah sejumlah teks, meramaikan perbincangan jejaring media sosial.

Mulanya meme satir tentang Setya Novanto diproduksi oleh satu orang. Tidak butuh lama, “karya” sejawat bermunculan. Seperti yang dilaporkan Novanto, sedikitnya ada 33 akun media sosial bertanggung jawab pada fenomena ini.

Mengibaratkan sosok sakti kebal hukum, para produsen meme menempatkan rangkaian kata menjadi kalimat bernada satir. Suatu keniscayaan, para produsen meme sudah muak dengan ragam cara yang dilakukan Setya Novanto hingga selalu lolos dari jeratan hukum atas segala tuduhan yang tersemat.

Tidak hanya terjadi dalam hal perseorangan, meme tentang Setya Novanto pun muncul dari media massa. Salah satunya sebuah surat kabar harian lokal di Kota Bandung, pun turut menayangkan sebuah karya grafis bernada sindiran. Grafis tersebut dipasang guna melengkapi laporan berita, sehari setelah proses pra-peradilan memenangkan Setya Novanto dalam perkara mega korupsi KTP Elektronik.

Karya grafis yang dimuat pada halaman pertama itu menggubah Setya Novanto seolah tokoh fiksi mafia masyhur; Don Vito Corleone. Grafis tersebut pula dilengkapi dengan kalimat-kalimat berupa data tentang rekam jejak Novanto selama berkarier di ranah politik.

Penggunaan humor bahkan satir dalam komentar serta kritik bukanlah barang baru dalam kehidupan politik nasional. Humor dan satir politik telah digunakan sejak kejayaan media konvensional. Bahkan kini dengan digitalisasi informasi, humor dan satir politik pun tetap serta meramaikan ruang publik, bahkan dengan dampak lebih besar.

Maraknya digitalisasi informasi secara langsung menjadikan meme sebagai salah satu pilihan untuk mengekpresikan pemikiran. Konsep meme sendiri telah diperdebatkan para pakar komunikasi jauh sebelum era digital dimulai. Kemunculan sebuah meme biasanya berakar dari suatu kejadian menarik, kontroversi, dan ucapan yang dilontarkan figur publik.

Praktik penyebaran meme politik di dunia maya ini menunjukkan pergeseran pola komunikasi kritik akibat perkembangan teknologi serta konvergensi media yang menyebabkan migrasi kritik menuju media sosial.

Setakat kini, teknologi internet telah membuka ruang komunikasi lebih interaktif yang semula bersifat satu arah menjadi komunikasi berbagai arah. Media sosial dan koneksi internet memungkinkan pertukaran informasi yang cepat serta masif.

Budaya siber
Dalam bukunya berjudul Komunikasi Antarbudaya: Di Era Budaya Siber, Rulli Nasrullah menuliskan manifestasi dari budaya siber (cyberculture) meliputi berbagai interaksi manusia yang dimediasi oleh jaringan komputer. Hal-hal tersebut mencakup segala aktivitas komunikasi termasuk budaya kritik dimana internet dan konvergensi media mampu mendukung keterbukaan politik melalui internet.
 
Budaya siber merupakan situasi di mana warganet dapat dengan bebas menyampaikan pandangan politiknya hanya melalui ujung jari mereka. Dengan internet, masyarakat bisa bebas menggunakan platform baru yakni media sosial sebagai wadah suara publik yang dulunya tersekat ruang dan waktu.

Perubahan ini sekaligus menunjukkan gelombang kritik serta gerakan politik dunia maya dapat bergerak tanpa lembaga. Kekuatan kritik kini berada di ujung jari warganet. Dengan hanya membagikan ulang tautan, seorang pengguna media sosial sudah ikut dalam membesarkan gelombang opini publik.
 
Kesederhanaan format visual serta penggunaan verbal yang mudah dicerna, membuat meme dapat memunculkan citra tersendiri terkait tokoh-tokoh politik populer Indonesia yang sering muncul di ruang publik. Secara sederhana, meme kritik muncul sebagai respon terhadap ucapan dan tindakan tokoh politik yang dianggap berlawanan.

Tidak dapat dimungkiri, meme bisa muncul dari berbagai sudut pandang. Baik itu diproduksi untuk ilustrasi jurnalistik, melunturkan citra seseorang, atau bahkan hanya sekedar lucu-lucuan, meme kini telah menjadi suatu fenomena yang menarik untuk dikaji dari berbagai arah.

Indra Kurniawan
Mahasiswa Program Studi Komunikasi, Fisip, Universitas Komputer Indonesia

(ded/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER