Milenial Menolak Ingat

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Jumat, 10 Nov 2017 13:06 WIB
Generasi milenial memiliki cara tersendiri dalam menentukan sesuatu. Dan tentu sudah berbeda dengan generasi sebelumnya.
Ilustrasi (Foto: Maguiss/Pixabay)
Jakarta, CNN Indonesia -- Mendekati tanggal keramat 30 September kemarin, pemberitaan tentang peristiwa kelam dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang terjadi pada 52 tahun silam semakin masif diberitakan. Berbagai media baik online ataupun cetak berlomba-lomba menampilkan berbagai angle pemberitaan dari peristiwa tersebut.

Meskipun narasinya hampir sama dari tahun ke tahun, kali ini pemberitaan menjadi semakin menarik karena adanya bumbu spesial, yaitu dilema pemutaran film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI.

Sejak terakhir ditayangkan secara reguler pada tahun 1998, praktis masyarakat umum mengetahui kejadian terbunuhnya para jenderal tersebut dari berbagai literatur dan juga dari mulut ke mulut, tanpa info tambahan dari film. Didukung oleh begitu bebasnya persebaran informasi paska orde baru, kebenaran dari kejadian tersebut tidak ada yang benar-benar valid.

Ada banyak versi yang lahir terkait dalang di balik peristiwa nahas tersebut. Mulai dari keterlibatan pihak asing, upaya Soeharto menjungkalkan orde lama, sampai yang paling santer dan banyak dipelajari oleh anak sekolah yaitu strategi PKI untuk memuluskan pemerintahan mereka di negeri ini.

Meskipun pernah jadi tontonan wajib, film sejarah tersebut tetap saja film, sekuat apapun sejarah yang diceritakannya. Maksudnya, ada kuasa dari sutradara untuk menginterpretasi peristiwa di lapangan yang didapat dari wawancara atau pun melalui survei sesuai dengan kebutuhan film.

Belakangan kita juga mengetahui kalau menurut keluarga, D.N. Aidit tidak merokok seperti yang ditunjukkan dalam film. Ditambah lagi dengan durasi film yang terbatas, maka sudah sepatutnya kita tidak buru-buru untuk mengamini film yang konon pembuatannya menghabiskan biaya 800 juta rupiah, angka yang sangat besar pada masanya.

Kontroversi pemutaran film ini kini merambah ke area yang lebih luas, dari yang awalnya sekadar perlu atau tidak diputar, menjadi saling sindir dan bahkan dijadikan amunisi untuk saling menyerang antar elite negara ini. Menyimpang jauh dari tujuan awal yang berusaha mengenalkan bahaya komunisme dan kekejamannya terhadap generasi muda.

Beberapa fakta sejarah yang dianggap menyimpang menjadi salah satu alasan pemutaran film tersebut harus dipikirkan kembali. Ada juga beberapa pihak yang menganggap bahwa cerita tersebut sudah tidak relevan dan tidak lagi menarik sehingga perlu dibuat versi barunya, bahkan kalau bisa yang khusus diperuntukkan oleh generasi milenial, ujar Presiden Joko Widodo.

Dari berbagai alasan yang dikemukakan, mayoritas menghendaki generasi milenial untuk aware terhadap buruknya komunisme. Kalau bisa sedini mungkin mengetahui betapa kejamnya mereka. Harapannya mungkin supaya generasi milenial tidak lagi membaca buku-buku kiri atau meludah tiap kali melihat logo palu dan celurit? Wallahu a’lam.

Masalah Milenial

Pemerintah atau pun Panglima TNI mungkin lupa, perbedaan generasi antara mereka dan orang-orang yang ingin mereka inginkan untuk ikut menonton peristiwa sejarah itu sangat besar. Dilansir oleh tirto.id, perbedaan sifat antar kedua generasi itu bisa dikatakan bertolak belakang. Baby boomer, generasi yang memimpin negara ini dikatakan memiliki sifat yang sopan, pekerja keras, berpendidikan tinggi, dan juga beretika. Sedangkan sifat dari generasi milenial secara umum adalah pemalas, egois, sombong, penggila teknologi, dan materialistis.

Sifat-sifat tersebut banyak diamini dan menjadi tolak ukur oleh generasi milenial ketika menentukan sesuatu. Sebagai contoh, untuk menentukan tempat nongkrong, ada banyak variabel yang dipikirkan oleh mereka. Misalnya bagaimana kondisi tempat yang akan mereka tuju, cozy kah? Apakah tempat duduknya nyaman? Bagus tidak tempatnya untuk melakukan swafoto? Apakah tersedia jaringan nirkabel gratis? Baru setelah itu mereka membicarakan menunya. Itulah kenapa generasi milenial menghabiskan banyak waktu untuk menentukan tempat dan lebih sering berakhir menjadi wacana.

Hal yang sama berlaku dengan ketika menonton film. Variabel yang digunakan juga malah makin banyak, padahal film tersebut sudah tersedia di depan mata. Misalnya dari segi kualitas apakah HD atau tidak, siapa pemainnya, berapa ratingnya, itu baru dari filmnya saja. Belum lagi melalui apa, smartphone-kah atau bioskopkah? Apabila memilih bioskop, maka bioskop yang mana di mall apa? Dan sebagainya, dan seterusnya.

Perkara nonton film bukan hal simpel bagi generasi milenial, apalagi ditambah fakta bahwa mereka ini terkenal mager alias males gerak. Ditambah lagi sifatnya yang materialistik, maka generasi milenial ini tidak mau rugi atas setiap keputusan yang mereka ambil. Dengan adanya gadget dan berbagai hiburan online, saya tidak yakin generasi milenial mau menghabiskan waktu berharganya untuk menyaksikan film sejarah yang penuh intrik dan kontroversial, durasi yang panjang, juga mungkin tempat nonton yang sekadarnya.

Pun bila medianya diubah melalui TV nasional seperti yang sudah dijadwalkan oleh TVRI dan TvOne. Saya tetap ragu generasi milenial mau menyaksikan film tersebut, terlebih generasi milenial tidak lagi akrab dengan TV dan lebih memilih menghabiskan waktu dengan smartphone.

Jadi wahai para elite, apa yang kalian tawarkan sampai generasi milenial sampai harus menonton film yang kalian rekomendasikan? Karena kami sudah besar untuk memilih film kami sendiri. Tabik. (ded/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER