Merayakan Kemerdekaan Bagi Penghayat Kepercayaan

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Senin, 13 Nov 2017 10:12 WIB
Melalui putusan uji materi nomor 97/PUU-XIV/2016 tanggal 7 November 2017, para penghayat kepercayaan mendapatkan kemerdekaannya di Indonesia.
Taman Paseban berada di sebelah timur bangunan Paseban Tri Panca Tunggal, pusat kegiatan warga Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho)
Jakarta, CNN Indonesia -- Penghayat kepercayaan di Indonesia identik dengan kelompok yang bermanifestasikan atas dasar kepercayaan yang berasal dari tradisi nenek moyang dan dibalut dengan budaya kearifan lokal di Indonesia. Sejak Orde Lama, mereka hidup di tengah percaturan politik yang keras antara kelompok agama dan komunis.

Perlindungan penghayat kepercayaan terombang-ambing dalam kepentingan politik. Pemerintah kala itu menerbitkan Peraturan No. 1/PNPS TAHUN 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan, dan/atau penodaan agama yang kian menyudutkan penghayat kepercayaan.

Permasalahan berlanjut pasca tragedi 1965. Banyak masyarakat menuding mereka sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Hingga peralihan ke rezim Orde Baru pun tak kalah menyudutkan.

Sidang MPR tahun 1978 saat itu memutuskan bahwa aliran kepercayaan tidak termasuk dalam agama. Ini tertuang dalam ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978. Berdasarkan ketetapan MPR tersebut Departemen Agama mengeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1978 mengenai kebijakan aliran-aliran kepercayaan. Dalam instruksi tersebut Departemen Agama tidak lagi mengurusi aliran kepercayaan.

Dalam data yang dicatat Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003, ada sekitar 245 aliran kepercayaan yang terdaftar, dengan jumlah penganut mencapai 400 ribu jiwa lebih. Namun hingga saat ini, berdasarkan sebaran data aliran kepercayaan dari Kemendikbud, tinggal tersisa 187 kelompok aliran yang tersebar di 13 provinsi di Indonesia dengan jumlah penghayat kepercayaan terbesar di Jawa Tengah sebanyak 53 kelompok dan Jawa Timur sebanyak 50 kelompok.

Kelompok tersebut kian tergerus jumlahnya seiring pengucilan kaum minoritas dan tidak diakuinya mereka dalam sistem politik dan adminitrasi kependudukan di Indonesia.

Realita yang terjadi selama ini, penganut kepercayaan belum mendapatkan pengakuan penuh dari negara terkait kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan belum mendapatkan haknya berupa kebebasan dari perilaku yang bersifat diskriminatif. Para penghayat kepercayaan seperti Batak Parmalim, Sunda Wiwitan, Ugamo Bangsa Batak dan Sapto Darmo tidak dianggap sebagai agama, melainkan bagian dari kebudayaan bangsa dan banyak di antara mereka yang mengalami diskriminasi dalam mengakses dan menggunakan layanan publik yang layak.

Pasalnya, kolom agama dalam KK dan KTP mereka dikosongkan. Hal tersebut berdampak pada sulitnya mengurus hak-hak sipil politik, seperti melamar pekerjaan, menikah, penerbitan akta kelahiran, sampai dengan sulitnya proses pemakaman jenazah. Tak jarang juga, anak-anak penghayat kepercayaan dipaksa untuk masuk kelas agama tertentu di sekolahnya.

Akhirnya melalui putusan uji materi no.97/PUU-XIV/2016 tanggal 7 November 2017, para penghayat kepercayaan mendapatkan kemerdekaannya di Indonesia. Putusan tersebut mengabulkan permohonan bagi Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba dan kawan-kawan selaku Pemohon perihal uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan yang dinyatakan dalam amar putusan yaitu, kata “agama” pada Pasal 61 ayat (1) dan 64 ayat (1) Undang-Undang no.23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan UU 24 tahun 2013 tentang perubahan atas UU no.23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2013 no. 232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.5475) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk “kepercayaan”.

Dengan demikian, status penghayat kepercayaan dapat dicantumkam dalam kolom agama di Kartu Keluarga dan e-KTP tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianutnya sehingga penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui oleh pemerintah dalam memperoleh hak administrasi kependudukanakan. Kemudian diharapkan akan tercipta kondisi tertib administrasi kependudukan bagi para penghayat kepercayaan mengingat jumlahnya di Indonesia cukup banyak dan beragam.

Lebih lanjut, Hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra menyatakan bahwa hak untuk menganut agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan hak konstitusional warga negara, bukan pemberian negara. Hal tersebut juga secara eksplisit sudah tercantum dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (1) dan (2). Dalam kedua ayat tersebut, mengandung makna bahwa agama dan kepercayaan sangat mungkin dipahami sebagai dua hal yang berbeda. Namun keduanya sama-sama diakui eksistensinya. Pemahaman tersebut muncul karena Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) mengatur agama dan kepercayaan secara terpisah. Tak ada ketentuan dalam UU yang menyatakan bahwa negara mengakui enam agama yang ada di Indonesia. Pengakuan enam agama hanya ada pada keterangan di salah satu ayat dalam UU tersebut.

Dijelaskan pula dalam pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, serta memberikan kebebasan kepada setiap penduduknya untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan kepercayaannya. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, yang berarti bahwa percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing merupakan hak setiap warga negara. Pasal 29 ini lahir dari campur tangan tokoh penghayat kepercayaan kala itu seperti Tumenggung Wongsonegoro yang terlibat dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Dr. Radjiman Wedyodiningrat selaku Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Mereka orang keraton, orang kejawen. Mereka ikut meletakkan dasar-dasar negara.

Terlepas dari adanya polemik dan pertentangan atas putusan tersebut, yang terpenting diperlukan adalah sebuah sikap dewasa dan bijaksana dari seluruh elemen dan masyarakat Indonesia untuk saling menghargai dan bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut kepercayaan serta saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing sehingga terbina kerukunan hidup di Indonesia.

Agama dan kepercayaan merupakan manifestasi rohaniah tiap individu yang bergantung pada keikhlasan dan keyakinan tiap penganutnya kepada Tuhannya. Setiap keyakinan tersebut haruslah didasarkan atas rasa saling menghargai, menyayangi dan menghormati antar pemeluk lainnya untuk menciptakan ketentraman, kerukunan, dan kedamaian di antara umat beragama seperti ajaran setiap agama yang mengajarkan cinta kasih dan toleransi antar umat manusia.

Janganlah kita terlalu sibuk memperdebatkan hal administratif yang sebenarnya merupakan konsekuensi dari prasyarat pemenuhan hak konstitusional tiap warga negara yang dijamin oleh undang-undang seperti kebebasan berkeyakinan yang sudah tercantum dengan jelas dalam konstitusi dasar negara kita. Persoalan keyakinan adalah tanggung jawab tiap individu yang menyangkut hubungan batiniah manusia dengan Tuhannya. Biarlah agama dan kepercayaan tiap orang berbeda-beda namun yang utama adalah bagaimana kita mampu menyikapi perbedaan ini sebagai suatu fakta kebhinekaan dan bentuk kekayaan hakiki yang mempersatukan seluruh umat di Indonesia. “Lakum diinukum waliyyadiin”

Ferdiantoro Ardiyanto
Mahasiswa DIV PKN STAN (ded/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER