Jakarta, CNN Indonesia -- Seorang kawan yang bijak pernah mengatakan bahwa lebih baik tidak pernah diungkapkan, daripada diungkapkan, dan membuat sakit hati yang mendengarnya. Misalnya, ketika kita mendapatkan kue dari seorang teman yang sedang belajar membuat kue. Rasanya tidak enak, namun karena takut menyakiti hati teman tersebut, kita mengatakan bahwa kue itu enak.
Kebanyakan orang Indonesia menerapkan prinsip ini, mengatakan yang tidak sesungguhnya dirasakan hanya untuk menjaga perasaaan lawan bicaranya. Bukankah hal ini termasuk dalam kategori berbohong? Padahal sedari kecil kita sudah ditanamkan nilai-nilai bahwa berbohong adalah hal yang dilarang.
Selain berbohong, kita juga tidak membuat orang lain berkembang. Saat teman yang sedang belajar membuat kue tersebut mendapatkan jawaban bohong, ia tidak berkembang dengan resep yang digunakannya karena menurutnya takarannya sudah pas tanpa perlu diganti lagi.
Seorang dosen pernah berkata di kelas: “Biarpun pahit lebih baik jujur, dibandingkan harus berbohong,” ungkapnya. Masih saya ingat betul ungkapan itu, daripada menerima kebohongan yang manis, lebih baik menerima kejujuran yang pahit.
Faktanya, lebih banyak manusia yang lebih menyukai dibuai dengan omongan manis biarpun berbohong. Padahal, dengan menerima yang pahit tersebut kita dapat belajar banyak, dapat lebih memperbaiki diri lagi kearah yang lebih baik. Tidak menjadi manusia yang melulu dipenuhi oleh kebohongan.
Pilar-pilar komunikasi agar menjadi efektif adaah selalu berlaku jujur, bicara apa yang kamu lakukan, ucapan harus sesuai dengan perbuatan. Dengan berkata tidak jujur, membuat komunikasi yang berjalan tidak efektif.
Perlakuan lain yang seharusnya dilakukan adalah dengan membuat orang sekitar kita percaya dengan diri kita dengan cerminan yg kita lakukan sesuai dengan ucapan kita. Jika sesuai dengan teori psikologi komunikasi, manusia harus mengeluarkan super-egonya (hati nurani manusia, yang merupakan internalisai dari norma sosial dan kultural yang berlaku di masyarakat) agar komunikasi menjadi efektif.
Apabila kita tidak mau menyakiti perasaan orang lain, kita dapat menanganinya dengan cara mengganti bahasa yang kita gunakan. Contohnya teman yang belajar membuat kue tadi, kita dapat memilih bahasa yang lebih halus daripada mengatakan kue buatannya tidak enak.
Apabila tidak enaknya karena terlalu manis, kita bisa mengganti bahasa kita dengan ungkapan: “Kue buatanmu akan lebih enak apabila kamu mengurangi jumlah gula yang kamu tuang.” Atau jika rasa dari kue tersebut terlalu lama di dalam oven, kita dapat menggunakan pilihan kalimat seperti: “Sebaiknya kue ini tidak terlalu lama dalam oven, pasti rasanya akan lebih nikmat.”
Tidak jarang pula orang yang sakit hati dengan kejujuran orang lain. Misalnya, wanita yang menggunakan bedak terlalu tebal. Orang yang melihatnya biasanya dengan rasa bersalah akan mengatakan “Bedakmu tebal sekali”. Atau jika warna muka dengan bedak tidak sama, akan ada komentar “Bedaknya nggak cocok ya? Keputihan tuh.”
Hal-hal seperti ini biasanya akan memicu rasa sakit hati. Sebagai orang dengan budaya timur, kita dibiasakan terbuai dengan komentar-komentar manis yang tidak membangun, padahal orang yang mengatakan hal yang sejujurnya merupakan orang yang berniat baik daripada orang yang menyembunyikan dan mengatakan hal-hal yang baik saja.
Jika kita termasuk ke dalam orang yang tidak enak memberikan komentar yang jujur, kita dapat mengganti pilihan bahasa yang akan kita gunakan. Misalnya, “Kamu lebih cantik kalau enggak pakai bedak, loh” atau “Lebih baik warna bedakmu diganti dengan yang lebih gelap satu tingkat, pasti akan lebih cocok.”
Mengingatkan orang lain demi kebaikannya akan berdampak baik kepada orang tersebut. Namun agar tidak ada hati yang tersakiti, mengingatkan akan lebih efektif apabila disampaikan dengan baik dan bahasa yang baik pula.
(ded/ded)