Jakarta, CNN Indonesia -- “Harini kan kamu belum bayaran, sana ulangan di ruang kepala sekolah,” kata seorang guru sekolah dasar tepat di muka kelas. Kalimat itu membekas hingga saat ini di dalam hati Harini Ambarwati, seorang wanita muda yang mengabdikan diri sebagai guru sukarela di Sekolah Rakyat Ancol 2, sekolah gratis untuk anak-anak tidak mampu di kawasan Pademangan, Jakarta Utara.
“Rasanya malu sekali, harga diriku jatuh karena guru itu teriak di depan teman-teman sekelas. Padahal masalah bayaran harusnya menjadi urusan guru dengan orang tua, bukan anak kecil sepertiku dulu,” ungkap wanita 24 tahun yang kerap dipanggil Rini ini. Saat itu ruang kepala sekolah merupakan tempat yang mencekam baginya, hal ini semakin menambah kekecewaan Rini kecil.
Keluh kesah yang disampaikan kepada ibunya saat ia pulang sekolah, tak disangka dibalas dengan dorongan pembuktian diri. “Nggak enak kan digituin sama guru? Bisa nggak Rini buktikan kalau sudah besar nanti jadi guru tapi kalau ada murid yang miskin kayak kita sekarang, Rini tidak seperti guru itu. Ayo buktikan!” Berkat kepekaan ibunya untuk mengulik sisi positif dari kekecewaan yang ia rasakan, Harini yang saat itu masih duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar pun mampu mengubah pola pikirnya dan bertekad untuk menjadi seorang guru yang baik nantinya.
Tantangan dari sang ibu dipegang teguh oleh Harini hingga ia beranjak dewasa. Dalam berbagai kesempatan, jiwa mengajarnya pun dipupuk dengan menjadi pengajar untuk teman-teman kelasnya di SMA. Saat di bangku kuliah, Harini ikut ambil bagian dalam suatu komunitas yang mengajar anak-anak kurang mampu. Berada di komunitas ini membuatnya kembali bercermin pada masa lalu dan menyadarkannya. “Sebenarnya ketika kita menolong orang, ada kebahagiaan tersendiri yang muncul. Hal ini yang membuat aku semakin suka mengajar, terutama untuk anak-anak kurang mampu.”
Dalam perjalanan Harini untuk melakukan pembuktian diri dan menjawab tantangan ibunya, ia kerap kali menghadapi kesulitan baru, salah satunya ketika harus menyelesaikan tugas akhir perkuliahan. Kesulitan ini membuatnya bernazar untuk terus mengajar anak-anak tidak mampu selama 1 tahun penuh. Padahal seharusnya ia langsung bekerja untuk membayarkan uang kuliah yang belum terlunasi, seperti teman-teman sejawatnya. Namun pilihannya ini membukakan pintu harapan baru untuk Harini.
Tepat saat gelar sarjana pendidikan di tangan dan Harini harus menepati apa yang dijanjikan, ia dipertemukan dengan Rika Lestari yang saat itu menjabat sebagai Community Development Manager Ancol. “Harini, kamu mau jadi guru ya? Kamu belum bisa dibilang guru berkualitas kalau belum mengajar di Sekolah Rakyat Ancol,” kata Rika, yang kemudian membeberkan kenyataan yang terjadi di Sekolah Rakyat Ancol (SRA) yang unik dengan perilaku anak-anak yang ‘luar biasa’. “Suatu hari nanti, kamu akan menemukan anak perempuan yang pakai kerudung, saling jambak sampai kerudung mereka lepas,” ungkap Harini sambil mengingat kembali kejadian tersebut. Apa yang dikatakan Rika pun benar terjadi.
Tawaran yang sekaligus menjadi tantangan baru bagi Harini diterimanya. Ia memulai pengabdian sebagai guru di Sekolah Rakyat Ancol pada Agustus 2015. Di awal perjalanan barunya, Harini benar-benar menikmati tugasnya meskipun dengan kondisi sekolah dan murid-murid yang kurang mendukung, karena mengajar adalah mimpi yang ia miliki sejak awal.
Namun setelah 4 bulan mengajar, ia sampai pada titik ingin berhenti. Kondisi sekolah dan murid-murid yang sulit dihadapi dan realitas pekerjaan yang sepenuhnya sukarela, tanpa gaji, membuatnya mau tak mau harus bekerja di tempat lain untuk membayarkan biaya kuliahnya terdahulu dan mencukupi kebutuhan hidup. Ditambah lagi saat melihat teman-temannya di bawah satu almamater yang sudah mulai bekerja dengan gaji yang menjanjikan, Harini pun mulai goyah.
“Sebenarnya ada keluargaku yang punya sekolah, jadi aku bisa pindah kapan pun aku mau. Saat itu aku izin untuk keluar dan ditentang oleh anak-anak, bahkan mereka sampai menangis,” ungkapnya sendu. Tapi Harini yang mudah jatuh cinta pada sesuatu, sudah terlanjur mencintai apa yang dijalaninya saat itu. Ia merasa masih memiliki tanggung jawab dan banyak mimpi untuk digapai. “Aku masih mau mengajar mereka karena aku percaya mereka semua adalah anak-anak baik yang berubah menjadi ‘luar biasa’ karena orang tua dan lingkungan yang salah perlakuan,” imbuh Harini yang akhirnya mengurungkan niatnya untuk berhenti mengajar.
Keputusan Harini untuk mempertahankan mimpinya untuk mengabdi, membuahkan hasil manis. “Ternyata memang kalau kita memudahkan urusan orang lain, maka Tuhan akan memudahkan urusan kita,” ucap Harini, yang berhasil membuktikan kebenaran prinsip yang selama ini dipegangnya. Berkat dukungan orang-orang di sekitarnya, Harini mulai mendapatkan tawaran sebagai pekerja lepas untuk menjadi penari, pranatacara, dan event organizer. Waktu yang fleksibel sebagai pekerja lepas membuat Harinio dapat tetap fokus melaksanakan pekerjaan utamanya sebagai guru di Sekolah Rakyat Ancol 2.
Berhembusnya Angin Perubahan Banyak perubahan yang terjadi di SRA 2 melalui kehadiran Harini di antara 5 guru laki-laki lainnya saat ini. Perjuangan para pengajar untuk menciptakan kondisi belajar mengajar yang kondusif telah membuahkan hasil. Melalui pembaharuan fasilitas sekolah gratis ini, yang semakin lengkap dan memadai, semangat belajar siswa/i berhasil ditingkatkan.
Harini juga menyadari, kebersihan diri dan lingkungan adalah faktor penting untuk menjaga konsentrasi belajar murid-muridnya. Untuk itu, ia membuat beberapa perubahan pada peraturan sekolah. “Mereka tadinya kucel ke sekolah, sekarang sudah rapi. Tadinya tidak pakai sepatu, sekarang sudah diwajibkan memakai sepatu. Bahkan sekarang kita punya berberapa seragam yang wajib dipakai. Mungkin untuk orang lain, itu semua tidak penting. Tapi kalau buat aku, ini adalah perubahan besar untuk mereka yang mulai menjaga kebersihan & kerapian bukan hanya karena takut dihukum, tapi karena sudah menyadari bahwa ini adalah kebutuhan dasar,” ungkap Harini dengan bangga.
Selain itu, siswa/i SRA 2 juga diajak untuk mengembangkan karakter diri melalui beberapa program yang diinisiasikan Harini dan rekan pengajar lainnya. Beberapa progam di antaranya adalah, program pemilihan pengurus kelas yang dilakukan untuk melatih tanggung jawab siswa/i, program “Polisi Kebaikan” untuk menanggulangi bullying yang menjadi masalah menjamur di sekolah, dan pembentukan ‘Tim Solid’ sebagai wadah perkumpulan anak-anak yang memiliki kemampuan dan kemauan lebih agar perkembangan potensi mereka tetap terjaga dan terukur. Harini juga membentuk ‘Tim Alumni’ untuk mengikat alumni Sekolah Rakyat Ancol agar tetap berada di lingkungan yang positif dan mendukung.
Satu hal yang paling dibanggakan Harini sebagai pengajar adalah perubahan pada semangat dan kualitas belajar murid-muridnya. “Mungkin dulunya mereka tidak mengerti apa gunanya pendidikan. Tapi sekarang mereka sudah sadar kalau belajar adalah modal besar untuk meningkatkan kualitas hidup mereka,” kata Harini. Ia juga yakin dorongan perubahan untuk menjadi lebih baik dapat dilakukannya dengan menyentuh hati masing-masing anak yang ‘luar biasa’ ini. “Kebahagiaan terbesar aku sebagai pendidik adalah melihat perubahan anak-anakku yang mengarah pada kebaikan. Yang penting mereka hidup di jalan kebaikan,” ujarnya.
Ibu yang Menginspirasi Sebagai satu-satunya pengajar wanita di SRA 2, Harini yang masih muda pun sudah dianggap sebagai ibu oleh murid-muridnya. Ia memang menyadari bahwa alasan anak-anak ini bersekolah bukan hanya untuk mencari ilmu, tapi juga mencari cinta, sehingga kerap kali ia dijadikan sasaran untuk meluapkan keluh kesah mereka. “Aku dekat dengan anak-anak karena dengerin curhat mereka, makan bareng, dan standby handphone untuk dengerin keluhan mereka yang mau kabur dari rumah, habis dipukul orang tua, dan lainnya.”
Hal ini pun diamini oleh Gadis Purnama Hasti, salah satu siswi yang aktif dan berprestasi di Sekolah Rakyat Ancol 2. “Miss Rini sudah seperti teman dan orang tuaku sendiri. Aku nyambung kalau curhat sama Miss Rini, mulai dari cerita tentang masalah di rumah atau masalah sama teman. Gadis udah sehati banget sama Miss Rini,” ungkapnya.
Sosok Harini yang ramah sekaligus tegas, mampu menginspirasi Gadis yang juga pernah bermimpi untuk mengabdikan diri sebagai guru. “Pengen banget kayak Miss Rini, jadi guru yang baik, ramah, dan bikin nyaman. Miss Rini juga kalau lagi bercanda, ya bercanda. Tapi kalau lagi tegas, ya tegas san suaranya menggelegar. Itu kenapa aku suka banget sama Miss Rini,” katanya.
Perjalanan jauh Harini untuk sampai ke Sekolah Rakyat Ancol 2 yang bertempat di Pademangan, dari rumahnya yang berada di daerah Klender, juga membuat Gadis semakin menganguminya. “Miss Rini itu menginspirasi banget, dia berjuang jauh-jauh dari rumahnya di Klender ke SRA 2 hanya untuk murid-muridnya. Aku yakin karena Miss Rini cinta sama murid SRA 2. Gadis pasti sedih kalau nggak ada Miss Rini.”
“Miss Rini, terima kasih ya udah mau mengubah sikap Gadis yang suka lelah berjuang karena penyakit Gadis. Karena Miss datang, aku jadi semangat. Makasih Miss Rini sudah selalu semangatin & nasihatin Gadis tanpa henti,” ucap Gadis ketika diminta untuk memberikan pesan kepada guru kesayangannya ini.
Pengabdian sebagai Jalan Hidup “Aku merasa ini jalanku menjadi pendidik dengan semua perilaku mereka yang ‘luar biasa’ dan masih harus banyak dituntun dan diperbaiki. Aku masih punya mimpi untuk membuat perubahan, walaupun bukan untuk dunia tapi setidaknya aku bisa membuat perbuahan untuk beberapa anak yang aku ajar,” ungkap Harini.
Tidak membatasi diri, itulah yang dilakukan Harini. Dengan berbagai tantangan yang ia hadapi, Harini tidak menyalahkan situasi atau menyerah pada keaadaan. Ia berhasil membuktikan bahwa kekecewaan dapat memperkokoh pondasi diri dan bukanlah alasan untuk berhenti. Melalui perjalanan panjang dengan pelengkap kekecewaan yang harus dirasakan, tantangan yang dihadapi, juga pilihan yang diambil, memang telah mengarahkan Harini untuk mengabdikan hidupnya sebagai seorang pendidik, menjadi seorang wanita pembawa perubahan untuk anak-anak marjinal di Sekolah Rakyat Ancol 2 secara sukarela.
(ded/ded)