Jakarta, CNN Indonesia -- Seorang teman berkata pada saya. Demikian banyak hal terpikir, tapi ia tak berani mengungkap atau menulisnya, katanya. Saya tanya. Kenapa? Jawabnya. Takut.
Wah! Saya bilang saya tak punya jawaban untuk itu.
Takut. Adalah kalimat atau sebuah kata-kata. Seperti ketika masa kecil dulu, dimulai dari tidak mau. Lalu mau.
Karena rasa takut tadi menjadi hilang, ketika mencoba untuk mulai menyentuh sebuah mainan ayunan, semisal, di ayun mulai dari perlahan, ketika masih masih masa kecil itu, ada tawa riang sedikit, lantas terkekeh-kekeh kegirangan. Lagi! Ayo! Lagi! Di ayun lagi!
Lalu, terdengar suara dering telepon milik teman saya itu. Ia tak juga mau mengangkat telepon itu. Ia mencoba ngobrol terus dengan saya sampai bunyi dering telepon seluler itu mati sendiri. Saya tanya. Kenapa tidak diangkat. Jawabnya, lagi. Takut.
Kemudian saya tahu, bahwa ia sedang konflik cinta dengan pacar. Dering itu berbunyi lagi. Saya bilang pada teman itu. Angkat dan katakan, maafkan saya. Teman saya itu, diam, lalu jawabnya sama. Takut.
Saya bilang kepadanya. Apakah sudah dicoba. Dia jawab. Belum. Telepon genggam berdering lagi. Kalau begitu angkat sekarang. Katakan, maaf, pada pacar mu itu.
Akhirnya dia menjauh dari saya. Tampak terjadi percakapan. Setelah beberapa saat, dia menengok pada saya, wajahnya jadi bagus, kening tak lagi berkerut. Lega? Kata saya. Ya, kata teman saya.
Masih takut untuk menulis, kata saya. Dia mulai tampak bertanya pada dirinya. Saya coba, katanya. Bagus, kata saya.
Mulai dari mana, katanya. Dari dirimu, kata saya.
Dia seakan mulai menemukan jawaban. Lalu dia bilang. Saya akan menulis puisi.
Bagus, puisi merupakan ungkapan akal budi, perasaan positif dan estetis. menulis lah sekarang untuk dunia. Kata saya.
Baiklah, aku mau menulis sekarang, katanya. Kami bersalaman. Dia pergi membawa cita-citanya.
Salamat menulis hal terbaik menurut di kau teman muda. Menulislah sekarang. Hal terbaik untuk sesama. Salam Cinta Indonesia.
Jakarta, Indonesia, January 9, 2018.
(ded/ded)