Korea Utara (Democratic People’s Republic of Korea) barangkali tidak begitu dikenal oleh generasi muda Indonesia dewasa ini. Bisa jadi, ketika mereka ditanya tentang Korea Utara, mereka malah menyebut K-Pop dan Gangnam Style dari Korea Selatan (Republic of Korea).
Ketidaktahuan kalangan muda Indonesia tersebut sebenarnya tidak mengejutkan.
Selama hampir lima puluh dekade, Korea Utara termasuk salah satu negara yang paling tertutup di dunia. Pemerintah negara itu betul-betul membatasi akses masuk maupun keluar, baik untuk warga negaranya sendiri maupun warga asing. Hanya ada partai tunggal yang menguasai semua lini kehidupan negara dan masyarakat.
Pada sisi lain, selama era Orde Baru dan Reformasi, Indonesia pun tidak begitu menaruh perhatian terhadap Korea Utara. Orde Baru menghindari hubungan dengan negara-negara berhaluan kiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal pada era Soekarno, Korea Utara adalah salah satu sekutu dekat Indonesia. Bahkan dikenal Poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyongyang, yang diklaim sebagai poros progresif yang melawan kekuatan neokolonialisme Amerika Serikat serta Inggris.
Pada bulan April 1965, lima bulan sebelum peristiwa G30S, Universitas Indonesia menganugerahkan gelar Doktor Honoris Causa di bidang teknologi bagi Kim Il Sung. Korea Utara dinilai contoh baik dari negara muda yang sukses melaksanakan pembangunan teknologi.
Namun situasi kini telah berubah. Terlepas dari minimnya informasi tentang Korea Utara, upaya untuk mengetahui lebih jauh tentang negara tersebut telah dilakukan oleh beberapa pihak.
Meskipun, sulit dipungkiri, informasi yang muncul ke permukaan lebih banyak yang bernada keprihatinan atas buruknya kondisi hak asasi manusia di Korea Utara (kerja paksa, kekerasan seksual, penghilangan orang, dll), atau tindakan agresif-unilateral yang meresahkan keamanan regional maupun global dalam bentuk uji coba rudal balistik Korea Utara.
Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil Korea Selatan tergolong aktif bekerja sama dengan berbagai pihak di Indonesia guna menyampaikan kondisi hak asasi manusia di Korea Utara.
Sebagai contoh, pada hari Selasa, 29 April 2014, Pusat Penelitian Politik LIPI bersama Citizens’ Alliance for North Korean Human Rights (NKHR) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyelenggarakan seminar “Jalan Panjang Penegakan dan Penghormatan Hak Asasi Manusia di Korea Utara.” Selanjutnya, Kamis, 21 Agustus 2014, Human Rights Working Group (HRWG), sebuah organisasi non-pemerintah asal Indonesia, dan National Democratic Institute (NDI) menyelenggarakan seminar berjudul “Unspeakable Atrocities in North Korea and the Road Ahead.”
Sejauh ini, pemerintah Korea Utara belum berbicara banyak tentang dirinya sendiri.
Di tingkat global, pemerintah Korea Utara selalu mengecam setiap resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa, seraya menyatakan bahwa resolusi itu merupakan bentuk intervensi. Korea Utara juga mengundurkan diri secara sepihak dari forum Six-Party Talks (Korea Selatan, Korea Utara, Amerika Serikat, Rusia, Jepang, Tiongkok) yang dibentuk dengan niat mencari solusi perdamaian di Semenanjung Korea. Korea Utara juga menyangkal tiap laporan mengenai buruknya kondisi hak asasi manusia yang disusun oleh Pelapor Khusus untuk urusan Korea Utara di PBB.
Apakah yang sebenarnya diinginkan oleh Korea Utara? Baru-baru ini, pemerintah Korea Utara, melalui Menteri Luar Negeri Ri Su Yong, menyampaikan kepada Menteri Luar Negara Indonesia Marty Natalegawa, sebuah proposal konkret untuk menjalankan kembali agenda Six-Party Talks. Hal tersebut tampaknya mengisyaratkan keinginan Korea Utara agar Indonesia terlibat aktif dalam forum tersebut.
Semoga saja proposal konkret tersebut dapat segera dibicarakan oleh para pihak, dan Indonesia ke depan, dengan presiden baru Joko Widodo, dapat berperan aktif dalam isu Korea Utara dan keamanan di Asia Pasifik, pada umumnya.
Sementara itu, di sisi lain, pemerintah Korea Utara pun mesti membuka diri kepada komunitas internasional. Hal tersebut dapat dimulai dengan langkah sederhana dan gradual, melalui diplomasi kebudayaan yang berbasis people-to-people. ***
Muhamad Haripin
Peneliti, Pusat Penelitian Politik LIPI