Jakarta, CNN Indonesia -- Ganja atau mariyuana tengah menjadi pembicaraan hangat di dunia, terutama setelah Uruguay melegalkan secara penuh penggunaan, kepemilikan dan penanaman daun
Cannabis sativa ini, disusul oleh banyak negara bagian di Amerika Serikat.
Mereka yang mendukung dengan legalisasi ganja berargumen bahwa tanaman ini mempunyai banyak manfaat untuk menyembuhkan berbagai penyakit, dari Alzheimer hingga kanker, menambah pemasukan negara lewat sektor pajak, dan menghentikan rantai perdagangan narkotika ilegal.
Namun Michael Bloomberg, saat menjabat walikota New York pada 2013, tegas mengatakan tidak mendukung legalisasi ganja di kotanya. Menurut dia, seluruh manfaat soal ganja cuma
hoax alias tipu-tipu belaka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak ada itu keuntungan medis. Ini adalah
hoax terbesar sepanjang sejarah," kata Bloomberg, dikutip dari New York Post pada Mei tahun lalu.
Amerika menurut World Drug Report PBB tahun 2014 memiliki 14,8 persen pengguna dari total populasi mereka.
Menurut Karen Tandy, pejabat di Badan Penanggulangan Narkoba AS dalam tulisannya di Majalah Police Chief, banyak mitos yang menyelubungi masalah konsumsi ganja ini, salah satunya yang paling santer adalah faedahnya bagi kesehatan.
Menurut Tandy, kandungan THC (
tetrahydrocannabinol), zat psikoaktif, yang ada dalam ganja sekarang lebih besar 8 persen ketimbang marijuana di tahun 1970an, bisa menyebabkan ketergantungan dan penyalahgunaan.
Dia melanjutkan, merokok ganja bisa meningkatkan masalah kesehatan karena mariyuana mengandung 400 zat kimia. Tar dalam selinting ganja bisa mengendap tiga hingga lima kali lebih banyak ketimbang sebatang rokok tembakau dengan filter.
Ganja juga mengandung 50-70 persen hidrokarbon karsinogen lebih banyak ketimbang rokok tembakau dan menciptakan enzim kadar tinggi yang mengubah hidrokarbon menjadi sel-sel perusak.
"Selain itu, merokok ganja juga menyebabkan kecemasan, serangan panik, depresi, menarik diri, dan masalah mental lainnya, terutama bagi remaja. Bagi anak-anak, yang otaknya masih berkembang, merokok ganja bisa merusak kemampuan mereka dalam belajar," kata Tandy.
Banyak negara, lanjut dia, yang menerapkan legalisasi ganja dan narkotika akhirnya memperketat kembali peraturan penggunaan mariyuana, salah satunya Belanda.
Di Belanda setelah mariyuana dilegalkan, konsumsi ganja meningkat tiga kali lipat di usia 18-20 tahun. Menyadari bahaya ini, akhirnya seluruh kota di Belanda memiliki kebijakan soal konsumsi ganja, dan 73 persen di antaranya tidak ada toleransi bagi konsumen ganja di kedai-kedai kopi.
"Seiring meningkatkan kesadaran bahaya ganja, jumlah kedai kopi
cannabis di Belanda berkurang 36 persen dalam enam tahun terakhir," kata Tandy.
Pengalaman yang sama terjadi di Swiss tahun 1987 saat pemerintah mengizinkan penggunaan dan penjualan narkotika di taman Platzspitz, kota Zurich, yang saat itu mendapat julukan Taman Jarum.
"Swiss akhirnya menjadi magnet pengguna narkoba dari seluruh dunia. Dalam lima tahun, jumlah pengguna narkotika di taman itu meningkat dari hanya ratusan menjadi 20.000 orang. Taman itu dipenuhi tindak kriminal dan akhirnya ditutup," ujar Tandy.