SERANGAN TALIBAN

Sekolah Kini Menjadi Medan Perang Baru

CNN Indonesia
Rabu, 17 Des 2014 12:10 WIB
Serangan Taliban di sekolah Peshawar bukan kekerasan pertama yang terjadi di tempat belajar anak dalam berbagai konflik yang terjadi di dunia.
Kekerasan seringkali mensasar anak-anak yang bersekolah sebagai aksi balasan pada pemerintah satu negara atau menunjukkan kekuasaan dan kekuatan kelompok-kelompok pemberontak. (Reuters/Zohra Bensemra)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- "Teman-teman saya tergeletak luka atau meninggal di sekeliling saya."

Ini bukan pengakuan tentara yang telah tertempa medan pertempuran yang memang mengajukan diri untuk bergabung dalam peperangan yang melibatkan negara mereka.

Ini adalah kata-kata dari seorang anak berusia 15 tahun yang terbaring di rumah sakit Peshawar, Pakistan, setelah sekelompok militan Taliban menyerang sekolahnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Aksi pembantaian Taliban ini sangat kejam dan berani sehingga menarik perhatian dunia yang semakin mendekati tidak perduli dengan kebiadaban yang secara rutin berlomba-lomba berupaya mendapatkan perhatian warga dunia.

Di era dimana pengeboman tempat bermain anak di Suriah, penculikan murid perempuan di Nigeria, sekolah perempuan Afghanistan ditutup karena ancaman dan konflik yang berubah menjadi kekacauan, serangan ke Sekolah Umum Militer Pakistan ini sekali lagi mengingatkan dunia akan bahaya yang dihadapi anak-anak ketika mereka pergi bersekolah.

Apakah kita siap melihat sekolah menjadi garis depan perang yang baru? Ini adalah pertanyaan yang harus dijawab oleh semua pihak.

Serangan di Peshawar bukan hanya satu kejadian saja. Insiden ini hanya lebih besar dan lebih mengerikan dibanding insiden serupa lain.

"pada 2013, 78 serangan terjadi pada sekolah, guru dan murid dilaporkan ke PBB di Pakistan," bunyi pernyataan tertulis dari perwakilan PBB untuk anak-anak dan konflik bersenjata.

Kali ini, kecaman pun berdatangan termasuk dari seorang pemimpin global yang pernah mengalami sendiri kekerasan berdarah.

"Saya mengecam tindakan kejam dan pengecut ini," ujar Malala Yousafzai pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, dalam pernyataan tertulis.

Dua tahun lalu,di Lembah Swat provinsi Khyber Pakhtunkhwa, Taliban menembak remaja Pakistan ini dari jarak dekat sebagai balasan atas kampanye terbuka Malala agar kaum perempuan mendapat pendidikan.

Ibukota provinsi ini adalah Peshawar, tempat penyerangan sekolah pada Selasa (16/12) ini.

Dalam wawancara yang memedihkan, seorang anak perempuan bernama Margaret bercerita mengenai pengalamannya di ulik dari sekolah di Uganda Utara pada 2004.

Di usia 14 tahun, dia diculik oleh tentara pasukan Joseph Kony dan dijadikan budak seks dan mengandung anak-anak tentara itu.

Dia adalah salah satu anak-anak yang dipaksa menjadi tentara atau budak oleh Tentara Perlawanan Tuhan pimpinan Joseph Kony.

Ketika sekolah menjadi medan pertempuran, upaya untuk melindungi sekolah pun semakin mendesak.

Pendidikan adalah salah satu senjata paling mematikan dalam peperangan melawan stabilitas dan keamanan global.

Pakar ekonomi pemenang Hadiah Nobel, Amartya Sen, menulih bahwa tidak ada rute jalan paling jelas ke arah pembangunan ekonomi dan perdamaian kecuali pendidikan.

Pada 2011, 57 juta anak tidak bersekolah; setengah dari jumlah ini tinggal di negara-negara konflik. Fakta ini seharusnya meresahkan semua pihak yang menginginkan dunia yang stabil, damai dan aman.

Akan tetapi saat ini pun, jutaan pengungi anak-anak di Suriah tetap tidak mendapat kesempatan untuk bersekolah

Kampanye "Generasi yang Hilang" yang bertujuan mendanai pendidikan dan mendukung anak-anak itu sebentar lagi akan berfungsi, tetapi aksi ini sangat kekurangan dana.
Upaya membantu anak-anak korban peperangan mendapatkan pendidikan terhalang kesulitan pengumpulan dana. (Reuters/Khuram Parvez)
"Sebelum perang, hampir seluruh anak di Suriah bersekolah," kata kelompok amal Save the Children.

Sekarang, "Suriah memiliki tingkat jumlah murid terburuk ke dua di dunia karena hampir tiga juta anak usia sekolah tidak lagi mendapatkan pendidikan."

Dalam satu acara yang diadakan oleh Utusan Pendidikan PBB Gordon Brown, rasa frustasi sangat terlihat.

Semua orang sepakat bahwa pendidikan adalah kunci yang menjamin jutaan anak Suriah memiliki kesempatan untuk masa depan yang lebih baik, tetapi membuat dunia membuka kantong mereka untuk membiayai pendidikan anak-anak itu menjadi tantangan yang lebih besar.

Salah seorang yang berjuang menciptakan dunia yang lebih aman adalah Beatrice Yuru Byaruhanga, pendiri Sekola Integrasi Lira di Uganda Utara yang pernah dilanda kekerasan.

Sebagai sarjana, Ayuru menanam dan menjual singkok untuk membiayai satu sekolah untuk memerangi buta huruf dan kemiskinan, dan juga memperjuangkan hak anak untuk mendapat pendidikan.
Saya mengecam tindakan kejam dan pengecut ini.Malala Yousafzai

"Ketika perang melanda, kami selalu melarikan anak-anak dari sekolah ke kota untuk menyembunyikan mereka," ujar Ayuru kepada wartawan.

"Ketika hari terang kami menjemput mereka dari kota dan membawa mereka kembali ke kelas untuk belajar.

Ayuru tidak takut dengan kekerasn yang terjadi di sekitarnya.

Demikian juga dengan Malala Yousafzai. "Saya, dan jutaan anak lain di seluruh dunia, berduka dengan kematian murid-murid ini, saudara-saudara saya--tetapi kita tidak pernah akan kalah," ujar Yousafzai.

Tekad ini sangat diperlukan untuk melawan perjuangan yang akan menghadang.

Kelompok militan telah memperlihatkan tidak akan berhenti begitu saja untuk memerangi militera Pakistan. Dan mereka telah memperlihatkan taruhannya.

Mereka yang perduli dengan masa depan, bukan hanya masa depan anak mereka tetapi juga stabilitasn dan kemakmuran dunia yang akan mereka warisi, harusnya sepakat bahwa dunia saat ini memerlukan lebih banyak Malala dan Beatrice Ayurus jika peristiwa berdarah seperti di Peshawar tidak terlalu banyak terjadi.

Mereka harus mendanai, mendukung dan mengemukakan hak setiap anak untuk memiliki ruang kelas yang tidak juga berfungsi sebagai zona perang.

Ini adalah perjuangan bersama. Dan semua pihak memiliki taruhan yang sama.

Gayle Tzemach Lemmon adalah wakil direktur Program Kebijakan Perempuan dan Luar Negeri di Dewan Hubungan Luar Negeri. Dia menulis buku berjudul "The Dressmaker of Khair Khana," yang bercerita tentang seorang perempuan Afghanistan yang menumbuhkan harapan dan lapangan kerja melalui perusahaanya di era pemerintahan Taleban. Pendapat ini adalah pendapat pribadi penulis. 

(sumber: CNN)

(yns)
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER