EKSTRIM KANAN YAHUDI

Pemerintah Israel Tindak Ekstrim Kanan

CNN Indonesia
Senin, 29 Des 2014 09:28 WIB
Pemerintah Israel menghadapi dilema dalam menindak kelompok ekstrim kanan yang mendorong kebencian pada Arab akibat hak kebebasan berekpresi.
Anggota kelompok Lehava melakukan aksi protes di pesta pernikahan antara pria Arab Israel dan perempuan Yahudi di Tel Aviv. (Reuters/Ammar Awad)
Yerusalem, CNN Indonesia -- Satu kelompok ekstrim kanan Israel yang menentang keberadaan warga Arab atas nama agama dan keamanan nasional memaksa pemerintah negara Yahudi ini melakukan keseimbangan legal dan politik ketika mencoba mengatasi kekerasan sektarian.

Para pegiat kelompok Lehava ini meneriakkan "Matilah kaum Arab" di pesta pernikahan seorang pria muslim dengan perempuan Yahudi yang pindah agama pada Agustus.

Bulan lalu, tiga anggota kelompok ini didakwa melakukan pembakaran di satu sekolah multi-agama Yerusalem.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketegangan di masyarakat meningkat sejak perang Gaza pertengahan tahun yang menewaskan lebih dari 2.000 warga Palestina tewas dan pertikaian atas tempat tersuci di Yerusalem.

Situasi ini berbuntut dengan penyerangan terhadap warga Yahudi oleh warga Palestina seperti pembunuhan empat rabi dan seoran polisi di sinagoga.

Sebagai gambaran dari risiko kekerasan sektarian ini adalah seorang remaja Palestina dibakar hingga tewas oleh warga Israel yang membalas dendam atas pembunuhan remaja Yahudi di Tepi Barat menjadi penyebab perang di Jalur Gaza pertengahan tahun ini. 

Pihak berwenang Israel kini mendapat tekanan untuk mengatasi siapapun yang mendorong aksi pembalasan terhadap warga Arab Israel dan Palestina.

Namun, upaya mengatasi Lehava lebih rumit akibat hak kebebasan berbicara dan juga perasaan simpati sejumlah kecil warga Israel terhadap kelompok ini.

Lehava, yang berarti "kobaran api" tetapi juga memiliki singkatan dalam bahasa Hebrew "Mencegah Asimiliasi di Tanah Suci", menyangkal telah melakukan kesalahan dan menegaskan mereka hanya korban pencemaran politis.

Polisi menangkap hingga 21 anggota Lehava, termasuk ketuanya Benzion Gopshtein, setelah serangan ke sekolah tempat anak Yahudi dan Arab menimba ilmu.

Langkah ini mengisyaratkan bahwa ada upaya untuk mengatasi Lehava atau mungkin akan ada larangan terhadap kelompok ini. 

Ketiga orang yang didakwa melakukan pembakaran belum menyatakan pembelaan, sementara Gopshtein mengatakan dia menjadi sasaran karena pernyataannya bukan karena perbuatannya.

"Saya diselidiki karena pernyataan publik yang saya kemukakan mengenai hidup berdampingan, meski saya tidak pernah menyarankan kekerasan," ujarnya kepada Reuters setelah dibebaskan dari tahanan polisi.

Dia menegaskan bahwa kebijakan Lehava adalah tetap berada di dalam jalur hukum, namun dia menolak megecam serangan ke sekolah itu.

Gopshtein, yang menyebut bahwa anggota Lehava 5.000 orang, mengatakan pihak berwenang "terganggu karena kami memiliki dukungan demikian luas, itu sebabnya mereka menangkap kami".

Seorang pejabat Israel menggambarkan penangkapan Lehava ini merupakan upaya untuk mengatasi pidato mengobarkan kebencian.

Diantara mereka yang didakwa dengan tuduhan ini adalah delapan warga Palestina dari Yerusalem Timur yang dituduh mendorong serangan pada warga Israel lewat media sosial.

Tetapi pejabat yang dihubungi Reuters ini mengatakan bahwa upaya menjatuhkan hukuman terhadap pegiat Lehava dalam kasus menyebabkan serangan rasialis akan lebih sulit.
Sejumlah anggota Lehava dikenai dakwaan membakar sekolah campuran di Yerusalem, namun mereka belum mengajukan pembelaan diri. (Reuters/Ronen Zvulun)
"Pernyataan-pernyataan terbuka mereka kurang tegas," ujar pejabat yang tidak mau disebutkan namanya itu. "Ini masalah yang rumit, terutama karena kami tidak mau melanggar hak kebebasan berekspresi yang dijamin hukum."

Mendorong kekerasan berdasarkan ras dan agama diancam lima tahun penjara di Israel, yang 20 persen penduduknya adalah bangsa Arab.

Jika terjadi pelanggaran karena perilaku itu, undang-undang kejahatan karena kebencian memberi kekuasaan pada hakim untuk meningkatkan hukuman maksimum itu menjadi dua kali lipat.

Pandangan Ekstrim

Inti perjuangan Lehava adalah menolak hubungan asmara antara warga Yahudi dan kafir, dengan mengatakan kelompok ini berkampanye untuk melindungi Yudaisme.

Meski hubungan antar ras jarang ada di Israel, kelompok ini menyebarkan nama dan foto warga Arab yang dicurigai berpacaran dengan perempuan Yahudi, dan pengkritiknya menuduh kelompok ini main hakim sendiri dengan mengancam para pria itu dengan kekerasan.

Lehava juga mendesak perusahaan Israel untuk tidak memperkerjakan warga Palestina dari wilayah pendudukan Tepi Barat dan Yerusalem Timur, dan menyebut mereka sebagai "teroris masa depan".

Gophstein adalah murid mendiang Meir Kahane, seorang rabi kelahiran AS yang menganjurkan pengusiran bangsa Arab dari Israel dan wilayah Palestina.

Pria berusia 45 tahun ini sebelumnya pernah ditangkap polisi karena perlaku tak pantas ketika aktif dalam gerakan Kach pimpinan Kahane yang dilarang dari pangung politik Israel karena rasis pada 1988.

Ketika ditanya apakah Lehava akan juga dilarang, pejabat Israel tersebut mengatakan: "Kemungkinan itu akan dipelajari."

Para pemimpin kelompok arus utama Israel mengecam serangan pembakaran dan insiden rasialisme lain.

Penangkapan ini dilakukan oleh satu gugus tugas polisi yang bertugas mengatasi kelompok Yahudi ekstrim kanan yang penuh kekerasan.

Tamar Hermann, pakar sosiologi dan jajak pendapat pada Institut Demokrasi Israel, IDI, mengatakan tindakan pemerintah terhadap Lehava dilakukan setelah pengaduan berulang-ulang yang diajukan oleh petisi dan media berhaluan kiri.

Tekanan pada polisi ini, menurut Herman, kemungkinan diimbangi dengan semakin banyak warga Israel yang bersimpati dengan Lehava.
Ketua Lehava Benzion Gophstein menyangkal mendorong tindak kekerasan terhadap warga Arab dan Palestina, tetapi tidak mengecam pembakaran sekolah di Yerusalem. (Reuters/Nir Elias)
Jajak pendapat IDI yang akan diterbitkan bulan depan menemukan bahwa 21 persen warga Israel Yahudi mengidentifikasikan diri sebagai "nasionalis keagamaan", kata Hermann, sementara sekitar tiga persen menganut pandangan "garis keras" menentang kaum kafir. 

"Kenaikan ekstrimisme agama yang terjadi di Timur Tengah dan bahkan di Eropa dan Amerika Serikat, juga terjadi di Israel. Dan saya tidak melihatnya sebagai kontra-reaksi terhadap kebencian bangsa Arab semata," kata Hermann.

Menachem Landow, pensiunan petugas badan keamanan Shin Bet, menentang larangan atas Lehava dengan mengatakan bahwa ideologinya "akan berpindah dan muncul kembali ke satu tempat baru yang legal."

"Pengacau di sini pada umumnya berasal dari sektor tertentu dalam masyarakat Israel, kaum muda yang berasal dari latar keluarga saleh, yang membenci Arab sebagai bagian dari teori ras dan mencoba mencari kerangka kerja yang melakukan aksi atas hal yang mereka benci," ujarnya.

"Mereka harus diatasi secara perorangan," tambah Landow dan mengatakan bahwa polisi pernah mempergunakan taktik ini terhadap pendukung sepak bola Israel yang teriakan anti-Arab seringkali berakhir dengan kerusuhan berdasarkan ras.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER