Jakarta, CNN Indonesia -- Serangan terhadap para kartunis dan redaksi majalah Charlie Hebdo di Paris, Perancis, yang menewaskan 12 orang bukanlah pekerjaan seorang
lone wolf, seperti beberapa peristiwa di negara-negara Barat belakangan ini.
Menurut pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Ridlwan Habib, seorang lone wolf, atau warga yang teradikalisasi dan melakukan serangan teror secara acak, bekerja sendirian dan amatir.
Hal ini berbeda dengan serangan di kantor Charlie Hebdo yang melibatkan beberapa pelaku yang terlihat terlatih. Ridlwan menilai, mereka bukanlah lone wolf, melainkan
independent cell atau jaringan teroris independen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terlihat dari sisi penyerangannya yang profesional, mereka telah melakukan survei, memilih jalan sepi dan punya kemampuan menggunakan senjata dengan baik, membagi peranan dengan baik," kata Ridlwan kepada CNN Indonesia, Kamis (8/1).
Ridlwan mengatakan, strategi independent cell telah diterapkan oleh al-Qaidah sejak Osama bin Laden tewas tahun 2011. Di bawah kepemimpinan Ayman al-Zawahiri, para anggota al-Qaidah yang tersebar di banyak negara diberikan otonomi dan kebebasan untuk memilih target sendiri, sepanjang dalam satu misi dengan jaringan tersebut.
"Dengan cara ini, mereka bisa melakukan upaya apapun dengan mengatasnamakan kelompoknya," kata Ridlwan.
Selain itu, lanjut Ridlwan, cara ini diambil karena al-Qaidah tidak perlu lagi repot melakukan pengawasan ke beberapa wilayah.
"Mereka diberikan kebebasan soal pemilihan target atau kapan penyerangan dilakukan, tidak harus ada komunikasi," ujar Ridlwan.
Hal serupa disampaikan oleh Matthew Henman, peneliti senior di IHS Jane’s Terrorism & Insurgency Centre, yang mengatakan tingkatan kemampuan kelompok ini jauh berada di atas lone wolf.
"Mereka jelas terlatih menggunakan senjata api. Pengalaman semacam ini menempatkan mereka di atas para mujahidin lone wolf," jelas Henman, dikutip dari al-Arabiya.
Prancis sendiri akhir tahun lalu mengalami tiga serangan oleh para lone wolf, salah satunya penikaman tiga polisi oleh seorang mualaf di Joue-les-Tours. Di kota Sydney, Australia, Desember 2014 juga mengalami penyanderaan yang dilakukan oleh seorang lone wolf, menewaskan beberapa sandera.
Alisa Lockwood, kepala peneliti Eropa di IHS Country Risk juga menjelaskan bahwa penyanderaan di Sydney dan Joue-les-Tours berbeda dengan penembakan Charlie Hebdo.
"Penembak melakukan operasi sangat cepat, hanya 10 menit, dan menargetkan korban yang spesifik. Mereka telah mempersiapkan mobil untuk kabur dan bersenjata lengkap. Ini bukti bahwa tingkat koordinasi mereka berbeda dengan serangan-serangan sebelumnya," jelas Lockwood.
(stu)