Jakarta, CNN Indonesia -- Thailand menuduh Amerika Serikat mencampuri urusan politik dalam negeri negaranya pada Rabu (28/1).
Thailand mengatakan komentar dari utusan AS yang mengkritik pemerintahan junta militer menyakiti banyak warga Thailand.
Thailand yang sudha lama menjadi sekutu AS menyatakan ketidaksenangan mereka tentang pernyataan Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Asia Timur Daniel Russel pada Senin (26/1) dengan memanggil perwakilan kuasa usaha AS Patrick Murphy ke Kementerian Luar Negeri di Bangkok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengatakan Murphy menegaskan kembali seruan AS untuk politik yang lebih inklusif dan mengakhiri darurat militer.
Dia juga mengungkapkan harapan AS “bahwa kita akan meneruskan berdialog yang sedang berlangsung," kata juru bicara Jen Psaki pada konferensi pers.
Hubungan antara kedua negara itu mulai memburuk sejak kudeta militer Thailand pada Mei tahun lalu, dengan Washington membekukan bantuan dan membatalkan beberapa kerjasama keamanan.
Amerika Serikat juga membatalkan latihan militer Cobra Gold tahunan yang baisa dilakukan bersama Thailand, sekaligus membatasi ruang lingkup kerja sama pada bantuan kemanusiaan dan bantuan bencana.
Psaki mengatakan dia tidak mengetahui adanya perubahan tambahan lain.
Russel merupakan pejabat dengan level tertinggi AS yang datang mengunjungi Thailand sejak kudeta militer.
Komentarnya muncul beberapa hari setelah Perdana Menteri Yingluck Shinawatra digulingkan dan dilarang berpolitik selama lima tahun serta didakwa atas tuduhan kriminal atas skema pembelian beras.
Wakil Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai, mengatakan kepada wartawan bahwa Thailand tidak setuju dengan Russel "berbicara tentang politik" dalam pidatonya di Universitas Chulalongkorn, Bangkok.
"Itu menyakiti banyak warga Thailand," katanya.
"Jika kita mematuhi dan mengangkat darurat militer dan menyebabkan masalah, bagaimana orang-orang yang meminta pencabutan darurat militer akan bertanggung jawab? Pada kenyataannya, warga Thailand bahkan tidak tahu ada darurat militer,” ia menambahkan.
Russel bertemu dengan perwakilan dari pemerintah militer, tetapi tidak bertemu dengan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, yang memimpin kudeta.
Prayuth mengatakan kepada wartawan ia berharap komentar itu tidak akan mempengaruhi perdagangan bilateral, menambahkan bahwa hubungan ekonomi berjalan terus seperti biasa.
"Saya merasa sedih bahwa Amerika Serikat tidak mengerti alasan mengapa saya harus turun tangan dan tidak memahami cara kerja kita, meskipun kita telah menjadi sekutu dekat selama bertahun-tahun," kata Prayuth.
Pemerintah militer Thailand telah menjanjikan reformasi dan pada akhirnya nanti akan kembali ke pemerintahan yang demokratis, tapi banyak kritikus yang mengatakan militer telah menahan kebebasan berbicara.
(stu)