Fragmen Holocaust: Kisah Filipina Menyelamatkan 1200 Yahudi

Ike Agestu/CNN | CNN Indonesia
Kamis, 05 Feb 2015 12:29 WIB
Sekitar 1200 orang Yahudi melarikan diri ke Filipina saat Holocaust pada PD II. Kisah mereka: lari dari Eropa yang berkecamuk menuju pendudukan Jepang.
Meski harus menghadapi perang di Front Timur ketika Jepang menduduki Filipina, kaum Yahudi tetap merasa itu lebih baik daripada berakhir di krematorium kamp konsentrasi. (Reuters/Laszlo Balogh)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bahkan saat masih berusia tujuh tahun, Lotte Hershfield tahu hidupnya tak akan mudah.

Ia menghindari pagar-pagar dengan tulisan: Anjing atau Yahudi dilarang masuk.

Ia tak bisa menghadiri sekolah publik. Dan Nazi beserta pasukan Jerman menyerbu rumah keluarganya, melemparkan buku-buku mereka ke perapian.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagai anak kecil, “kami sangat sadar”, kata Hershfield yang kini berusia 82 tahun. Orang Yahudi bahkan tak diterima di rumah mereka sendiri.

Dengan rasa takut yang makin menguat, orangtua dan kakaknya meninggalkan kampung halaman mereka di Breslau, Jerman pada 1938, berharap menemukan rumah baru ketika menuju Filipina.

Sekitar 1200 orang Yahudi-Eropa terbang ke Filipina antara 1937 hingga 1941, melarikan diri dari ancaman bengis Nazi, hanya untuk menghadapi perang lain: pendudukan Jepang.

Mayoritas kaum Yahudi datang dari Austria dan Jerman, saat kebijakan anti-Semit makin intensif di bawah Nazi.

Tak berhasil melarikan diri ke Inggris ataupun Amerika Serikat, mereka mereka kabur ke Shanghai, Tiongkok, Sousa di Dominika dan Manila, Filipina.

Mereka yang melarikan diri ke Filipina tak menyadari bahwa mereka menghindari Holocaust untuk berhadapan dengan perang di Front Timur, ketika Filipina diserang.

“Kami lari dari kandang singa ke kandang buaya,” kata Hershfield. “Kami lari dari kekejaman Nazi ke Jepang.”

Filipina merdeka setelah perjuangan panjang dan perang yang dikenal dengan “Pertempuran Manila”, salah satu perang paling berdarah dalam Perang Dunia II.

Kisah kecil soal pelarian kaum Yahudi ke Filipina telah menginspirasi dua film dokumenter dan menjadi perbicangan di banyak film soal penderitaan Yahudi di Perang Dunia II.

“Kita tahu cerita seperti Anne Frank, ’Schinder’s List’, yang menarik imajinasi populer,” kata Michelle Ephraim, yang ayahnya, Frank Ephraim, melarikan diri ke Filipina pada 1938. “Semuanya langsung menjadi rumit, menarik dan mengejutkan jika dikaitkan dengan elemen Asia.”

Sekitar 40 pengungsi di Filipina masih hidup sekarang, menurut pembuat film dokumenter, Noel Izon. Mereka adalah anak-anak Yahudi yang tiba di Filipina lebihd ari 70 tahun yang lalu—tahun ini Dunia merayakan 70 tahun berakhirnya Perang Dunia II.

Film dokumenter berjudul “An Open Door: Jewish Rescue in the Philippines” situ mewawancarai beebread pengungsi Yahudoi di Filipina.

Petualangan baru di negara tropis
Gambar menunjukkan anak-anak Yahudi yang diselamatkan dari kamp konsentrasi Auschwitz pada 1945 oleh Rusia, namun sebelumnya, sekitar 1,1 juta warga Yahudi mati di kamp konsentrasi itu. (GPO via Getty Images/Zoltan Kluger)

Bagi warga Eropa yang baru pertama kali menginjak Filipina, “rasanya seperti gegar budaya”, kata Hershfield.

“Kami tak tahu bahasanya. Sebelumnya kami hanya melihat orang-orang kulit putih.”

Kelembapan udara sangat tebal, udara sangat panas dan banyak nyamuk.

Namun anak-anak Yahudi melihat Filipina sebagai petualangan baru. Mereka memanjat pohon mangga, berenang di teluk dan belajar lagu-lagu Filipina.

Hershfield mengatakan ia mulai berteman dengan tetangganya, dan menikmati pepaya dan jambu.

Kehidupan di Manila berkisar antara sandal dan baju musim panas. Namun pengalaman itu dirasakan berbeda oleh kedua orang tuanya.

“Sangat sulit bagi orang tua saya,” kata Hershfield. “Mereka tak pernah benar-benar belajar bahasa Tagalog. Budaya Barat mereka sudah terlanjur kental dan hanya bergaul dengan sesama imigran.”

Banyak dari mereka tinggal di perumahan masyarakat ramai di mana perkelahian bisa pecah kapan saja. Dari orang kaya raya di Jerman, secara drastis mereka menjadi tak berpunya di negeri orang.

“Itu bukan apa yang mereka tahu ketika tinggal di Jerman,” kata Izon. “Pada saat yang sama, mereka bisa mempraktekkan agama mereka, mampu berbaur dan berbisnis.”

Hari-hari indah yang dalam ingatan Hershfield tentang bermain di bawah matahari Manila berakhir tiba-tiba saat perang mendarat di Filipina.

Pendudukan Jepang

Jepang menduduki Filipina mulai 1941. Dalam beberapa aspek, para pengungsi Yahudi ini diperlakukan lebih baik dari warga Filipina. Namun alasannya ironis: Jepang melihat tanda swastika di paspor Jerman mereka dan menganggap mereka sekutu.

“Saya baru sadar kemudian, itulah yang membuat kami tidak diasingkan,” kata Ursula Miodowski, yang berusia 7 tahun pada saat itu.

Jepang mengasingkan warga Inggris dan Amerika di kamp-kamp. Filipina dan tentara Amerika dipaksa untuk berbaris sekitar 100 km di Bataan Death March terkenal di mana sekitar 10 ribu tahanan tewas.

Perwira Jepang menyita rumah penduduk dan hasil panen mereka. Ekonomi lokal layu dan makanan menjadi langka.

Hidup di bawah Jepang keras dan brutal, kata pengungsi yang masih hidup.

Ketika pasukan Sekutu mulai mengambil kembali Filipina, bom jatuh setiap hari. Keluarga bersembunyi di bungker, tidak tahu di mana bom berikutnya akan jatuh.

Frank Ephraim menghabiskan hari-harinya bersembunyi di selokan, gemetar dengan kasur menutupi kepalanya. Salah satu teman Hershfield meninggal setelah menginjak ranjau.

“Kebakaran terjadi sepanjang waktu,” kata Hershfield. “Anda bisa melihat awan hitam, bau mayat, berbaring dan membusuk.”

Saat Jepang kehilangan Manila, pasukan kekaisaran meluncurkan serangan brutal. Perkosaan, penyiksaan, pemenggalan warga sipil secara luas dilaporkan begitu banyaknya sehingga seorang jenderal Jepang Tomoyuki Yamashita kemudian dieksekusi karena telah gagal mengendalikan pasukannya.

“Orang Jepang memutuskan untuk menghancurkan Manila. Mereka akan memberi mereka sebuah kota mati dan mereka mulai melakukan hal itu,” kata Miodowski. “Mereka membakar, mereka membunuh.”

Namun perang di Filipina “lebih baik daripada berada di kamp konsentrasi,” ujarnya.

Pertempuran Manila selama sebulan membuat ibu kota itu tenggelam dalam abu, menghancurkan ekonomi dan infrastrukur kota. Sekitar satu juta warga Filipina dilaporkan tewas menjadi korban perang itu.

Meskipun trauma menghadapi kedua perang itu—di Filipina dan Jerman—Hershfield tetap bersyukur.

“Kami tidak akan hidup hari ini jika tidak karena Filipina. Kami pasti sudah hancur di krematorium.”

(sumber: CNN) (stu)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER