Niat Vladimir Putin Sebenarnya Dibalik Krisis Ukraina

CNN | CNN Indonesia
Rabu, 11 Feb 2015 18:44 WIB
Presiden Putin ingin Barat hentikan perluasan NATO ke Timur dan menghormati Rusia sebagai bekas kekuatan Perang Dingin sebagai penyelesaian Ukraina.
Presiden Vladimir Putin menginginkan Ukraina tetap netral dan tidak menjadi anggota NATO di halaman belakangnya. (Reuters/Maxim Zmeyev)
Moskow, CNN Indonesia -- Apakah Presiden Rusia Vladimir Putin sudah gila? Pertanyaan ini benar-benar diperdebatkan di lingkaran yang serius.

Dalam pembicaraan dengan Presiden Barack Obama beberapa bulan lalu, Kanselir Jerman Angela Merkel dilaporkan mengatakan bahwa mitranya dari Rusia itu “hidup di alam berbeda.”

Minggu lalu, satu bocoran laporan yang diminta oleh Departemen Pertahanan AS pada 2008 menympulkan bahwa pemimpin Rusia ini kemungkinan menderita sindroma Asperger, satu jenis penyakit autisme. Laporan ini menyebut penyakit itu kemungkinan menjadi alasan kendali diri Putin yang sangat tinggi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seorang juru bciara Pentagon mengatakan tidak ada panduan dari Departemen Pertahanan dalam laporan itu, dan para pakar mengatakan kepada CNN mereka meragukan keandalan klaim Asperger itu.

Dan Kremlin pun mengatakan tuduhan itu sebagai omong kosong.

Akan tetapi, Putin adalah enigma.

Dukungan kuatnya terhadap pemberontak separatis di Ukraina Timur membuat hubungan Rusia dengan Barat mencapai titik terburuk sejak Perang Dingin berakhir.

Bahkan ketika menghadapi sanksi internasional yang mengisolasi Rusia dan menggoyahkan perekonomiannya, para pejabat negara Barat mengatakan senjata dan pasukan terus dikerahkan ke seberang perbatasan, meski Kremin membantah melakukan hal itu.

Jelas, Putin bertekad untuk menang di Ukraina.

Semua pihak tahu arti ini semua dari sisi kesepakatan damai—gencatan senjata yang disepakati akhir September lalu, meski tidak benar-benar berjalan.

Protokol Minsk menyetujui, antara lain, pemberian otonomi ke wilayah selatan Ukraina. Bahasar Rusia akan menjadi salah satu bahasa resmi. Satu zona penyangga akan didirikan di sepanjang garis depan, dan senjata berat akan ditarik dari wilayah pemukiman.

Namun, Putin tampaknya menginginkan lebih dari itu.

Dalam kunjungan ke Mesir minggu ini, presiden Rusia ini memberi isyarat yang bukan pertama kali dikemukakan.

Dalam wawancara dengan koran Al-Ahram dia menolak Rusia bertanggungjawab atas krisis di Ukraina.

“Hal ini terjadi sebagai reaksi atas upaya AS dan sekutu Barat, yang menganggap mereka sebagai pemenang Perang Dingin, untuk menerapkan kehendak mereka di mana-mana,” ujar Putin kepada koran tersebut.

“Janji untuk tidak memperluas NATO ke timur ternyata hanya pernyataan semata,” katanya.

Oleh karens itu solusi krisis Ukraina kemungkinan besar adalah memutuskan untuk tidak memasukkan negara itu sebagai anggota NATO, meskipun hal ini tidak bisa diterima oleh sejumlah pihak di Barat.

Para diplomat Rusia menyebutnya sebagai jaminan “status netral” Ukraina, yang terdengar lebih indah dibandingkan “mengalah”.

Tetapi, masalah terbesar adalah hal ini mungkin tidak hanya akan menyangkut Ukraina.

Bagi Putin, krisis ini hanyalah kekesalan terakhir dari begitu banyak insiden seperti Barat menghancurkan kepentingan Rusia di negara lain mulai dari Kosovo ke Irak, dari Libia dan Suriah.

Tujuan akhir Putin mungkin mengubah asumsi yang berkembang setelah Uni Soviet terpecah terkait hal yang akan diterima oleh Rusia , dan perubahan hubungan antara negara itu dengan Barat.

Sumber
https://edition.cnn.com/2015/02/11/world/chance-putin-analysis/index.html (yns)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER