Jakarta, CNN Indonesia -- Pakistan mengusir para imigran dari Afghansitan, menyebut mereka sebagai akar dari kelompok militan.
Para pengamat, di lain pihak melihat hal itu sebagai upaya pengalihan pemerintah Pakistan dari kegagalan mereka dalam memerangi rangkaian kekerasan di negara itu.
Ribuan warga Afghanistan kini gelisah mereka akan terancam diusir dari Pakistan, meninggalkan toko-toko, rumah dan restoran yang sudah menjadi milik mereka setelah bertahun-tahun tinggal di negara itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hanya berselang beberapa lama setelah serangan Taliban pada 16 Desember yang menewaskan setidaknya 145 orang di sekolah, para pejabat Pakistan langsung menyalahkan Afghanistan dan bersumpah akan membasmi imigran ilegal yang mereka anggap hanya sebagai kedok pada militan.
Ribuan warga Afghanistan meninggalkan Pakistan sejak itu. Antrian mobil berisi barang-barang berbaris di perbatasan Khyber dan Afghanistan. Banyak yang juga masih mengemas barang mereka di Peshawar dan bersiap pergi.
Shahkirullah Sabawoon, pedagang pakaian di Peshawar, menggambarkan suasana suram saat ia bersiap pergi.
“Pakistan adalah rumah kedua kami dan kami sudah berinvestasi sebanyak jutaan rupee di berbagai bisnis, namun polisi, mereka meminta kami menutup bisnis kami dan meninggalkan Pakistan,” katanya.
Ia mengatakan banyak orang Afghansitan yang bahkan takut untuk pergi ke pasar atau mengecek toko-toko mereka karena takut ditangkap polisi.
“Kami akhirnya membulatkan tekad untuk meinggalkan Pakistan dan memindahkan bisnis kami ke Afghanistan namun itu bukan hal yang mudah,” ia melanjutkan.
Samina Ahmed, direktur International Crisis Group di Asia Selatan, mengatakan bahwa otoritas Pakistan menggunakan para pengungsi Afghanistan sebagai kambing hitam, meski mengatakan bisa saja ada kemungkinan kelompok militan menyelinap di komunitas pengungsi dari Afghanistan.
“Sangat mudah mengeksploitasi mereka. Mereka tak memiliki dokumen kerja legal yang bisa melindungi diri mereka. Menargetkan pengungsi Afghanistan adalah pengalihan,” ujarnya.
Pulang ke rumah Perbatasan Afghanistan-Pakistan padat segera setelah Pakistan menyalahkan mereka dalam penyerangan Taliban ke sekolah pada Desember lalu. (Reuters/Fayaz Aziz) |
Ada sekitar tiga juta warga Afghanistan yang tinggal di Pakistan, banyak dari mereka bermigrasi pada 1970-1980an saat okupasi Uni Soviet di Afghanistan. Gelombang kedua arus pengungsi terjadi saat Taliban mengambil alih kekuasaan.
Meski ada yang teregistrasi secara resmi, mayoritas dari mereka tak memiliki dokumen resmi, menjadikan mereka sasaran empuk intimidasi polisi.
Seetelah berpuluh tahun di Pakistan, kebanyakan telah kehilangan kontak dengan kerabat di Afghanistan, membuat tantangan bagi mereka ketika pulang ke Afghanistan bahkan lebih sulit.
Organisasi Internasional untuk Imigrasi mengatakan sekitar 22 ribu warga Afghanistan yang tak memiliki dokumen berkerumun di perbatasan di Torkham pada Januari, jumlahnya lebih banyak dari kseluruhan pada tahun 2014.
Pihak berwenang Pakistan mengatakan mereka hanya menargetkan para pengungsi yang tak memiliki dokumen resmi atau mereka yang terlibat dalam tindak kriminal.
“Selama operasi (setelah penyerangan Taliban di sekolah), polisi menemukan senjata ilegal yang dimiliki oleh pengungsi Afghanistan yang tak memiliki dokumen,” kata Mushtaq Ahmad Ghani, menteri di pemerintahan provinsi Pakistan. “Beberapa dari mereka terlibat dalam tindak kriminal dan terorisme.”
Ajmal Khan, 38, berusia tujuh tahun saat orang tuanya pindah ke Pakistan untuk menghindari pasukan Uni Soviet. Kini, ia adalah ayah dari enam anak dan memiliki restoran di Peshawar yang ia anggap sebagai rumahnya.
Ia cemas memikirkan apa yang akan menunggunya ketika kembali ke Afghanistan di provinsi Nangarhar. Setengah dari keluarganya sudah pergi.
“Saya mencintai Peshawar, yang sudah memberi kami tempat berlindung selama bertahun-tahun,” kata dia, emnambahkan bahwa pengadilan memerintahkan deportasi atasnya meskipun ia memiliki dokumen resmi.
“Segera setelah saya menjual restoran, saya akan meninggalkan Pakistan bersama seluruh keluarga saya.”
(stu)