Jakarta, CNN Indonesia -- Menyusul keputusan Rusia untuk mencabut larangan pengiriman sistem rudal S-300 ke Iran, Presiden Rusia Vladimir Putin mendiskusikan pencabutan tersebut kepada Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dalam sebuah pernyataan yang dirilis Kremlin, Selasa (14/4).
Dalam pernyatan tersebut, Putin menjelaskan alasan Moskow mencabut larangan sistem pertahanan udara yang diterapkan sejak Senin (13/4).
"Presiden Rusia Vladimir Putin memberikan pejelasaan yang logis di balik keputusan Rusia, bahwa spefikasi teknis dari sistem S-300 merupakan alat pertahanan, sehingga tidak akan mengancam keamanan Israel atau negara Timur Tengah lainnya," bunyi pernyataan tertulis dari Kremlin, dikutip dari RT News, Selasa (14/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meskipun demikian, alasan tersebut sepertinya tidak menenangkan Israel. Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh kantornya, Netanyahu mengungkapkan "keprihatinan serius mengenai keputusan itu".
Netanyahu menilai langkah Putin ini "hanya akan mendorong agresi Iran di wilayah tersebut dan selanjutnya akan merusak stabilitas Timur Tengah". (
Baca juga: Rusia Cabut Larangan Pengiriman Rudal ke Iran, Israel Berang)
Rusia menandatangani kontrak senilai US$800 juta, atau setara dengan Rp10,3 triliun untuk menjual sistem rudal S-300 ke Iran pada 2007 lalu. Penjualan itu kemudian ditangguhkan tiga tahun kemudian karena kecaman Amerika Serikat dan Israel.
Kala itu, larangan diberlakukan sebagai tanda solidaritas antara sekutu Barat yang menjatuhkan sanksi keras terhadap Iran, meskipun sistem rudal sendiri tidak termasuk dalam daftar sanksi internasional.
Pencabutan larangan pengiriman rudal dilakukan Rusia menyusul disepakatinya kerangka perjanjian nuklir Iran dengan enam negara besar dunia, yaitu Amerika Serikat, Tiongkok, Perancis, Rusia, Inggris dan Jerman pada awal April lalu.
Moskow percaya pada tahap ini "tidak perlu lagi dilakukan embargo semacam itu," kata Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, sembari menegaskan keputusan tersebut "dilakukan Rusia secara unilateral dan sukarela."
Rusia juga mulai memasok peralatan dan material konstruksi ke Iran untuk ditukarkan dengan minyak mentah di bawah kesepatakan barter "minyak-untuk-barang" yang sebelumnya memicu kecaman dari Barat.
Tak hanya Israel, Amerika Serikat nampaknya juga tidak senang dengan keputusan Rusia tersebut yang dinilai "tidak konstruktif". Meskipun demikian, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Marie Harf mengakui langkah tersebut tidak melanggar norma-norma internasional.
"Kami yakin langkah tersebut tidak konstruktif saat ini bagi Rusia," kata Harf, sembari menambahkan bahwa Menteri Luar Negeri AS, John Kerry juga telah menyuarakan keprihatinannya.
Iran menyetujui kerangka kesepakatan sementara dengan enam negara besar dunia untuk membatasi kemampuannya memproduksi senjata nuklir pada awal April. Kesepakatan final rencananya akan dicapai pada 30 Juni mendatang.
Sebagai timbal balik, Barat berjanji akan mencabut beberapa sanksi yang saat ini diterapkan atas Teheran, utamanya di sektor minyak dan keuangan.
Pada Selasa (14/4) Menteri Luar Negeri Jerman, Frank-Walter Steinmeier, memperingatkan bahwa soal pencabutan sanksi akan menunggu sampai kesepakatan final terjadi.
Sementara, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei terus menyerukan pencabutan sanksi ekonomi atas negaranya, sebelum kesepakatan final tercapai.
(ama/stu)