Jakarta, CNN Indonesia -- Raihan Ruslan, seorang warga Singapura, tak pernah menyangka bahwa dalam proses kehamilannya, ia harus berkemah di bandara Kathmandu, Nepal, pada Sabtu (25/4). Raihan adalah salah satu korban gempa berkekuatan 7,9 skala Richter yang berhasil menyelamatkan diri.
Kepada Channel NewsAsia, Minggu (26/4), Raihan menuturkan kisahnya.
"Kami baru saja bersiap untuk pergi keluar dan tiba-tiba seluruh apartemen mulai bergerak ke kiri dan ke kanan. Benda-benda mulai berjatuhan, potongan bata dan ornamen lain," ucap Raihan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan panik, Raihan akhirnya keluar dari gedung. Saat itulah ia melihat pemandangan mengerikan.
"Saat kami keluar dan berada di area terbuka di depan, di sanalah kami melihat salah satu candi di depan kami runtuh ke tanah," katanya.
Berusaha menyelamatkan diri, Raihan dan suaminya tancap gas ke bandara. Sesampainya di bandara, pemandangan kacau lain mereka saksikan.
"Orang tahu tidak ada penerbangan yang akan lepas landas, jadi mereka mendirikan tenda di sana sini," tuturnya.
Mengikuti jejak orang lain, Raihan dan suaminya pun akhirnya mendirikan tenda untuk bermalam, mencari peruntungan jika tiba-tiba ada penerbangan.
"Kami memilih tempat berumput yang nyaman dan tidak berstruktur. Kami menghabiskan malam di luar dalam dingin, tapi beberapa pendaki gunung memberikan kami jaket dan selimut," kata Raihan.
Kendati demikian, Raihan dan seisi bandara tidak dapat beristirahat dengan tenang. "Sepanjang malam, guncangan terus terasa. Setiap ada guncangan, orang akan bangun dan mulai teriak, dan setelah itu mereka akan kembali tenang," tutur Raihan.
Di luar bandara, ketegangan juga terus berlanjut. Salah satu jurnalis lepas di Kathmandu, Sunir Pandey, menceritakan kisahnya kepada CNN.
Pandey sedang berada di rumah pamannya di Ramkot, Kathmandu, sekitar 12 kilometer dari kediaman keluarganya.
"Saat gempa bumi menyerang, kami berlindung di bawah sebuah balok dan berdoa. Di ruangan lain, kakek saya tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Bukannya mencari perlindungan, ia malah berjalan ke arah jendela," tutur Pandey.
Di luar, asap kecokelatan dari reruntuhan rumah telah mengepul hingga ke pegunungan. Setelah berhasil keluar, pikiran Pandey melayang ke keluarganya. "Pikiran pertama saya adalah kabar dari teman dan keluarga. Telepon tak berfungsi, tapi untungnya pesan data bisa tersampaikan. Saya sudah mendengar kabar dari semua orang, kecuali ibu saya," papar Pandey dalam tulisannya di CNN.
Terlalu khawatir, Pandey masuk kembali ke kediaman pamannya, mengambil barang-barangnya, dan lari ke rumahnya. Setelah melakukan perjalanan panjang, Pandey tak percaya bahwa rumahnya sejak 30 tahun silam masih berdiri tegak. "Saya sampai di rumah dan kedua orang tua saya hidup dan tak terluka," tulis Pandey.
Pandey pun mengantar kedua sepupunya menuju tempat orang tua mereka tinggal. Selama perjalanan, mereka terus mendengar rumor bahwa akan ada gempa susulan.
"Seperti yang sudah diumumkan, guncangan menghantam kami pada pukul 18.00 dan ada banyak guncangan lain pada 22.00 dan tengah malam, diselingi guncangan kecil sepanjang malam. Saya tidak tidur sekedip mata pun," tulis Pandey.
(stu)