Aceh, CNN Indonesia -- Sebagian besar warga Rohingya yang berakhir di Aceh punya mimpi untuk melanjutkan hidup di Malaysia, bekerja, lari dari konflik berdarah yang menimpa mereka. Tidak terkecuali Abdur Rosyid yang rumahnya sudah hangus dibakar di Arakan, Myanmar.
Kepada CNN Indonesia, Kamis (21/5), pria berusia 48 tahun ini mengatakan sempat bekerja di Malaysia selama tujuh tahun sebagai kuli bangunan. Itulah mengapa dia menguasai sedikit bahasa Melayu.
Saat kembali ke kampung halamannya, konflik tengah pecah. Rumah Rosyid dibakar dan warga Rohingya dibunuh oleh warga Buddha di Arakan. Saat itu, hampir semua rumah dibakar di kampungnya, harta penduduk dijarah. Polisi tidak berkutik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ibunda Rosyid yang sudah renta turut menjadi korban.
"Semua orang lari saat rumah mereka dibakar. Ibu saya ada dalam rumah dan sudah tidak bisa jalan, akhirnya dia tewas terbakar," kata Rosyid.
Sejak itu selama tiga bulan, Rosyid bersama istri dan ketiga anaknya terlunta-lunta di jalanan. Selama delapan bulan berikutnya, keluarga tersebut ditampung di rumah kakak Rosyid di kampung yang lainnya.
Namun karena konflik keluarga, hanya Rosyid yang tidak boleh masuk rumah. Selain itu, kakaknya tidak ingin terseret kasus dengan polisi. Pasalnya Rosyid tengah dicari karena dituduh terlibat dalam bentrokan.
"Selama delapan bulan tidak sekalipun saya masuk rumah itu. Akhirnya saya berladang dan mengurus kolam ikan," ujar pria berjenggot ini.
Awal tahun ini, Roshyid kembali memutuskan untuk bekerja di Malaysia. Kali ini dia akan mengajak ketiga putranya yang berusia 18, 15 dan 10 tahun. Untuk berangkat ke Jiran, Rosyid membayar seorang perantara dengan harga sebesar 5.000 ringgit per orang.
Sehingga, Rosyid harus merogoh kocek sebesar 20 ringgit Malaysia, atau sekitar Rp72 juta. Tidak disebutkan dari mana dia mendapatkan uang ini.
Perjalanan dari Myanmar dengan kapal menuju Thailand memakan waktu tujuh hari. Di Thailand, Roshyid dan ketiga putranya hidup selama satu bulan di atas kapal, diberi makan dan minuman oleh kapten kapal.
Namun kapal mereka kemudian dicampakkan ke laut saat uang mereka telah seluruhnya diberikan. Sebelum itu, lanjut Rosyid, ratusan orang di tiga kapal dipindahkan ke satu kapal. Mereka duduk berhimpitan, tidak boleh berdiri jika tidak ingin ditembak.
"Tekong (kapten) mengancam menembak orang yang berdiri dan berbicara. Kami dibuang ke laut dengan persediaan makanan yang sedikit," kata Rosyid.
Selama tiga bulan mereka hidup terkatung-katung di lautan sebelum diselamatkan nelayan Aceh.
Saat ini, Rosyid berada di tempat penampungan pengungsi di dermaga Kuala Langsa bersama dengan 677 warga Rohingya dan Bangladesh lainnya. Jumlah ini belum termasuk pengungsi asal Rohingya dan Bangladesh di beberapa tempat lainnya di Aceh.
Badan pengungsi PBB, UNHCR, pada awal bulan ini melaporkan bahwa terdapat sekitar 25 ribu imigran menggunakan jasa penyelundup manusia pada periode Januari dan Maret tahun ini. Jumlah tersebut hampir dua kali lipat dari jumlah imigran pada periode yang sama tahun 2014.
(ama/ama)