Jakarta, CNN Indonesia -- Semenjak Kim Jong Un mengambil alih kekuasaan tiga setengah tahun terakhir, semakin sedikit warga Korea Utara yang melarikan diri. Hal ini, menurut para ahli, disebabkan biaya yang semakin mahal dan risiko yang lebih berbahaya.
Untuk melarikan diri, warga Korea Utara harus dibantu calo, yang biasanya beretnis Korea namun berkewarganegaraan China. Biayanya tak murah, sekitar US$8.000 atau setara Rp100 juta—angka yang fantastis bagi rakyat Korea Utara. Itu pun, sang calo hanya membantu mereka melarikan diri sampai ke China.
Pemerintah Korea Utara juga memperketat keamanan dengan memasang kawat berduri di tepi Sungai Tumen yang berbatasan dengan China. Selain itu, pos penjagaan diperbanyak dan pemantauan panggilan telepon di sekitar perbatasan ditingkatkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Intelijen telah meningkatkan pemantauan panggilan telepon di daerah perbatasan dan kegiatan para calo ditekan,” kata Han Dong ho, seorang peneliti di Institus Korea untuk Persatuan Nasional di Seoul, yang sering mewawancarai pembelot.
"Semakin berbahaya, semakin mahal. Sebagian besar koneksi warga Korea Utara dengan para calo telah hilang,” kata Han, dikutip Reuters, Jumat (22/5).
Kawat berduriTindakan keras terhadap warga yang membelot di bawah pemerintahan Kim makin menjadi. Meski di sisi lain, pemerintah telah melonggarkan pembatasan ekonomi sehingga terjadi perbaikan taraf hidup warganya, yang akhirnya mengurangi alasan mereka untuk membelot.
Berdasarkan keterangan warga di sisi China dan dari gambar satelit, kawat berduri berbentuk T dipasang ratusan mil di pilar beton di tepi sungai Tumen pada 2012.
Di sebelah Korea Utara, pos jaga, anjing dan menara jam yang lusuh berada di tepi sungai. Tadinya, di lokasi itu anak-anak dari kedua negara sering bermain bersama pada musim dingin.
"Sejak Kim Jong Un, ada saat-saat di mana calo lokal menolak untuk pergi ke daerah-daerah tertentu di sisi China karena meningkatnya risiko keamanan,” kata Sokeel Park dari Kebebasan di Korea Utara (LiNK), yang bekerja untuk para pembelot.
Kementerian Unifikasi di Seoul menyebutkan bahwa kini terdapat 27.810 warga Korea Utara yang bermukim di Korea Selatan.
Sebelumnya, data dari pemerintah Korea Selatan juga mengungkapkan setiap tahunnya, jumlah pembelot makin meningkat.
Hal tersebut dimulai pada era 90an, saat terjadi kelaparan dahsyat yang membuat warga Korea Utara putus asa dan pergi ke China untuk mencari makanan. Puncaknya terjadi pada 2009, ketika 2.914 warga Korea Utara pergi ke Korea Selatan, menandai migrasi terbesar sejak gencatan senjata Perang Korea pada 1950-1953.
Namun jumlah itu turun di tahun pertama Kim Jong Un berkuasa pada 2012, tercatat hanya 1.502 warga Korea Utara yang berhasil melarikan diri ke Korea Selatan. Angka itu turun 44 persen dari tahun sebelumnya. Pada 2014 jumlah pembelot Korea Utara 1.396 orang.
 Di bawah Jong Un, yang melonggarkan pembatasan ekonomi, motif warga Korea Utara membelot berubah dari kelaparan menjadi kebebasan. (Reuters/KCNA) |
Penyamaran dan kode rahasiaSeorang perantara pembelot dan aktivis hak asasi manusia, Kim Yong Hwa mengelola sebuah kantor yang dijadikan tempat persembunyian rahasia di China untuk pengungsi Korea Utara. Mereka memberikan pakaian Korea Selatan kepada warga Korea Utara untuk menyamar serta kode rahasia untuk berkomunikasi dengan calo.
"Masih banyak orang yang ingin menyeberang ke China dan Korea Selatan, tetapi kenyataannya sulit," kata Kim, yang merupakan pembelot dan mengepalai Asosiasi HAM Pengungsi Korea Utara.
Kim berhubungan ke warga Korea Utara yang bersembunyi di China. Ia meminta pembelot untuk mendapatkan ponsel baru atau menghapus kontak mereka agar tidak terlacak.
Namun biaya yang naik tajam dan penjagaan yang makin ketat, membuat jumlah calo pun berkurang.
Kim, yang mengatakan telah membantu ribuan warga Korea Utara meninggalkan negara itu selama satu dekade terakhir, harus menutup usahanya tahun ini. Pasalnya, jaringan calonya berkurang menjadi 20 orang dari sekitar 60 orang di masa lalu.
"Mereka menuntut uang muka sekarang, mengingat risiko yang mereka miliki di China," kata Kim, menambahkan bahwa ia hanya mempu membantu setengah dari 40 atau 50 warga Korea Utara menghubunginya setiap bulan.
Mayoritas pembelot adalah perempuan dan berasal dari dua provinsi tetangga di timur laut negara itu, jauh dari ibu kota Pyongyang, dekat dengan berbatasan China di mana mereka dianggap tidak loyal di bawah sistem kelas politik tradisional negara.
Tidak seperti pria yang cenderung memiliki kewajiban kepada negara dan tempat mereka bekerja, wanita Korea Utara sering memiliki lebih banyak fleksibilitas. Mereka lebih bebas untuk berdagang, menyelundupkan, atau diam-diam melarikan diri. Perempuan menyumbang rekor tinggi sebesar 83 persen dari 292 pembelot ke Korea Selatan dalam tiga bulan pertama 2015.
Dari makanan ke kebebasanMereka mengambil risiko penyeberangan ilegal seperti ditembak, atau dipulangkan dan kemungkinan disiksa, menurut laporan PBB tahun lalu.
Tapi di luar bahaya tertangkap di perbatasan, peningkatan kondisi kehidupan di beberapa bagian Korea Utara dapat mempengaruhi tekad warganya untuk meninggalkan negara itu. Secara ekonomi, Korea Utara telah berubah sejak terjadinya kelaparan tahun sembilan puluhan, dan ekonomi pasar yang sedang berkembang membuat makanan lebih mudah diperoleh.
“Kesetaraan, perbaikan ekonomi di Korea Utara, khususnya di provinsi-provinsi timur laut, juga akan menyebabkan jumlah pembelot menurun," kata Park Link.
Namun peningkatan taraf hidup tidak dapat menjelaskan penurunan 44 persen pembelotan di bawah Kim Jong Un. Park mengatakan, peningkatan keamanan perbatasan yang menjadi penyebabnya.
"Dibandingkan dengan 10 tahun lalu motivasi utama pembelot untuk mencari makanan telah berubah dan berganti demi mencari kebebasan," katanya.
(stu)