Jakarta, CNN Indonesia -- Setidaknya sepuluh perempuan Irlandia ke Inggris setiap hari untuk melakukan aborsi karena aturan aborsi yang ketat di Irlandia.
Data statistik dari Departemen Kesehatan Inggris mengungkapkan bahwa untuk pertama kalinya, kebanyakan perempuan di Inggris sekarang melakukan aborsi dengan meminum pil ketimbang menjalani prosedur pembedahan.
Dilansir The Independent pada Selasa (9/6), aborsi non-bedah menyumbang 51 persen dari semua aborsi di Inggris dan Wales pada 2014, berbanding 49 persen pada 2013.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Data dari Kementerian Inggris juga menunjukkan bahwa tingkat aborsi terus turun secara kseluruhan. Jumlah aborsi di Inggris dan Wales tahun lalu adalah 187.571, 0,4 persen lebih sedikit dari 2013 dan 0,6 persen lebih sedikit dari satu dekade sebelumnya.
Irlandia adalah satu dari sedikit negara di Eropa yang masih melarang aborsi, bahkan dalam kasus perkosaan, gangguan janin parah atau fatal yang berisiko pada kesehatan ibu.
Data terbaru menunjukkan bahwa 3.735 perempuan dan anak perempuan melakukan perjalanan dari Republik Irlandia ke Inggris tahun lalu demi akses aborsi, serta lebih 837 dari Irlandia Utara, yang juga melarang aborsi kecuali dalam keadaan yang paling ekstrem.
Namun jumlah sebenarnya, kemungkinan lebih banyak dari itu, karena data hanya mencakup mereka yang mengatakan kepada otoritas kesehatan Inggris bahwa mereka berasal dari Irlandia. Banyak pula yang memberikan alamat kerabat mereka di Inggris atau hanya memesan pil aborsi secara daring.
Sebuah studi oleh Amnesty International mengungkap pengalaman perempuan Irlandia yang terpaksa mencari pengobatan di negara lain karena ketatnya hukum Irlandia soal aborsi.
Banyak kasus perempuan yang mengalami keguguran namun terpaksa membawa janin yang sudah meninggal di dalam perut mereka sementara mencari pengobatan di Irlandia.
"Hak asasi perempuan dan anak perempuan dilanggar setiap hari karena konstitusi yang memperlakukan mereka seperti melahirkan kapal. Perempuan dan anak perempuan yang membutuhkan aborsi diperlakukan seperti penjahat, stigma dan dipaksa untuk bepergian ke luar negeri, yang berdampak serius pada kesehatan mental dan fisik mereka. Negara Irlandia tidak bisa lagi mengabaikan kenyataan ini,” kata Sekretaris Jenderal Amnesty International, Salil Shetty.
Jaringan Pendukung Aborsi (ASN), yang membantu perempuan melakukan perjalanan ke Inggris dari Irlandia, menerima 552 telepon dari perempuan mencari dukungan untuk mengakses aborsi di Inggris pada 2014, meningkat 520 persen dari lima tahun lalu.
"Kami telah mendengar waktu dan waktu, perempuan dipaksa oleh keputusasaan yang disebabkan oleh kombinasi dari kemiskinan dan hukum aborsi kejam…dengan menelan bahan kimia, kelebihan dosis obat, minum berlebihan, dan secara harfiah melemparkan diri di tangga untuk mencoba menggugurkan kandungan,” kata Mara Clarke, direktur ASN.
Hukum reproduksi Irlandia tidak hanya mempengaruhi mereka yang membutuhkan aborsi. Seorang wanita mengatakan kepada Amnesty bahwa keinginannya untuk melakukan operasi caesar padahal menderita sakit parah diakhir kehamilannya. Rumah sakit menolak operasi dengan alasan takut hal itu akan membahayakan janinnya. Ia lalu harus bertahan 36 jam hingga melahirkan, karena tugas rumah sakit adalah “untuk menjaga bayi, bayi adalah yang utama.”
“Saya takut untuk punya anak lagi di Irlandia,” kata wanita itu.
“Di bawah (hukum saat ini) kami harus menunggu sampai wanita cukup sakit sebelum kami bisa melakukan intervensi. Seberapa dekat Anda dengan kematian (agar itu bisa dilakukan)? Tidak ada jawaban untuk itu,” kata Dr. Peter Boylan, mantan direktur klinis Rumah Sakit Bersalin Nasional Irlandia.
(stu)