Rakhine, CNN Indonesia -- Nasib lebih dari 700 imigran yang diselamatkan dari sebuah kapal di perairan Myanmar bulan lalu tidak jelas. Mereka mendekam di tahanan imigran di Rakhine dengan peluang repatriasi, kembali ke daerah yang sebelumnya ingin sekali mereka tinggalkan.
Diberitakan Channel NewsAsia, Rabu (17/6), kebanyakan imigran adalah warga Bangladesh, sisanya suku Rohingya. Mereka hanya dikenali dengan nomor, bukan nama.
Salah satunya adalah Ya Ya Khant, dikenal dengan nomor 173 oleh pemerintah Myanmar. Bagi keluarganya, dia adalah anak yang hilang. Keberadaannya tidak diketahui keluarganya, masih hidup atau mati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Angkatan Laut Myanmar menangkap mereka ketika sedang berlayar menuju Malaysia atau Indonesia untuk mencari pekerjaan.
Pria 25 tahun ini sebelumnya adalah penghuni tempat penampungan bagi Internally Displaced Persons (IDPs) atau Pengungsi Internal di Rakhine. Dia sangat ingin keluar dari tempat itu untuk mencari pekerjaan agar dapat membuat hidupnya lebih baik.
"Kita tidak baik-baik saja di situ. Tidak ada lahan pekerjaan di tempat pengungsian, maka dari itu kita ingin pergi ke Malaysia. Hidup atau mati, kita akan tetap pergi ke Malaysia, karena kita tidak mempunyai pekerjaan," kata Khant.
Khant dan para imigran lainnya harus membayar US$2.000 atau sekitar Rp27 juta, upah enam bulan kerja, untuk membayar kapal menuju Malaysia atau Indonesia. Mencari pekerjaan di negeri orang, mereka berharap bisa mengirim nafkah pada keluarga.
Pemerintah Myanmar baru-baru ini memulangkan 150 imigran ke Bangladesh, dan 700 lainnya akan ditampung di tempat penampungan sementara.
Harapan Khant untuk memulai hidup yang lebih baik di negara lain kini hancur. Hal yang paling dia inginkan saat ini adalah kembali ke kamp IDP agar keluarganya tahu bahwa dia masih hidup dan sehat.
Pemerintahan Myanmar berkeras bahwa Khant dan imigran lainnya pergi bukan karena mereka dianiaya, melainkan karena alasan ekonomi.
"Walaupun kita mencoba menghentikan penyelundupan dan perdagangan manusia, mereka masih tetap berkeras untuk pergi atas kehendak dan melalui koneksi mereka sendiri," ujar Menteri Negara di Rakhine, Maung Maung Ohn.
"Ini tidak masuk akal kalau para imigran ini melarikan diri dari kamp karena Myanmar menyiksa mereka. Kita memang memiliki kelemahan, tapi itu tidak sampai membuat mereka melarikan diri," tambah Maung.
Beberapa imigran pergi untuk mendapatkan pekerjaan di negara lain, beberapa lainnya pergi karena tertipu untuk melakukannya. Ada juga yang tidak tahan hidup penuh pengekangan.
Sementara itu pemerintah Myanmar masih belum membuka pintu untuk Rohingya menjadi bagian dari masyarakat. Masa depan Rohingya kian tidak jelas. Pembicaraan yang telah dilakukan belum juga menemui solusi jangka panjang.
(den)