Jakarta, CNN Indonesia -- Etnis Rohingya mengalami berbagai diskriminasi dan kekerasan selama bertahun-tahun di Myanmar. Namun, eksodus ribuan imigran Rohingya ke sejumlah negara ASEAN dinilai bukan hanya terjadi lantaran pelanggaran HAM, namun juga faktor ekonomi.
Etnis Rohingya selama ratusan tahun tinggal di negara bagian Rakhine, wilayah termiskin kedua di dalam negara-negara ASEAN. Di luar tindak kekerasan dan bentrokan yang kerap terjadi, warga Rakhine, baik Muslim Rohingya maupun umat Buddha, sama-sama menderita kemiskinan.
(
Baca juga: ASEAN Tak Punya Instrumen untuk Atasi Isu Pengungsi)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mereka meninggalkan Myanmar bukan hanya karena mengalami kekerasan, namun karena memimpikan penghidupan yang lebih baik di negara tetangga," kata Perwakilan Badan Pengungsi PBB di Indonesia, Thomas Vargas, ketika ditemui dalam diskusi bertajuk Respons ASEAN dalam Krisis Imigran Rohingya, Selasa (16/6).
Di Myanmar, imigran Rohingya tidak memiliki status kewarganegaraan yang jelas dan tidak dapat bekerja. Faktor inilah yang kemudian mendorong mereka untuk berbondong-bondong menuju Malaysia, misalnya, karena dijanjikan pekerjaan yang layak oleh para penyelundup manusia.
"Di samping masalah agama, di luar masalah HAM, ini juga masalah ekonomi," kata Vargas.
Jika ASEAN mampu membantu menciptakan ekonomi yang bertumbuh di Rakhine, menurut Vargas, hal ini akan membantu menekan arus eksodus Rohingya ke negara tetangga.
Bantu Rohingya di MyanmarKetika ribuan etnis Rohingya terdampar di Indonesia, Malaysia dan Thailand baru-baru ini, permasalahan Rohingya kembali mengemuka di ranah internasional. Berbagai dana bantuan mengalir untuk membantu mengatasi masalah ini.
Qatar, misalnya, bersedia memberikan dana bantuan sebesar US$50 juta atau sekitar Rp658 miliar kepada Indonesia yang telah berkomitmen menampung imigran Rohingya selama satu tahun sembari mengupayakan repatriasi atau pemulangan kembali.
(
Baca juga: Banyak Negara Sumbang Dana untuk RI Atasi Masalah Imigran)
Kucuran dana juga dijanjikan oleh Amerika Serikat dan Australia untuk membantu masalah imigran di Indonesia. Amerika Serikat memberikan dana sebesar US$3 juta, Rp39,6 miliar. Sementara, Australia memberikan dana sebesar US$5 juta, atau sekitar Rp66 miliar.
Dalam seminar tersebut, tercetus usulan untuk membentuk dana bantuan kepada etnis Rohingya di Myanmar, sehingga mereka tak perlu mempertaruhkan nyawa mengarungi lautan dengan perahu reyot hanya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik di negara tetangga.
"Itu opsi yang bagus. Kumpulkan dana, semacam Rakhine development fund. Jadi memberi bantuan kepada etnis Rohingya tidak di mana mereka transit atau pergi, namun langsung di kantongnya, kata Wakil Ketua Komisi I DPR, Tantowi Yahya.
Namun, Tantowi mengingatkan bahwa ide ini hanya akan berjalan jika Myanmar membuka diri terhadap bantuan negara luar, untuk bersama-sama mencari solusi terhadap krisis Rohingya.
"Kalau Myanmar menutup diri seperti sekarang, lalu diproteksi lagi oleh konsensus ASEAN yang menekankan bahwa kita tak boleh ikut campur urusan dalam negeri, ide ini tak akan berjalan," kata Tantowi.
Tantowi juga memaparkan bahwa Myanmar harus menyelesaikan isu diskriminasi dan memberikan status kewarganegaraan yang jelas kepada etnis Rohingya, agar publik internasional bersedia memberikan dana bantuan.
"Status Rohingya kan masih tidak jelas. Bagaimana pemerintah Myanmar menerima dana bantuan untuk warga yang bukan warga negara mereka?" ujar Tantowi.
Imigran etnis Rohingya melarikan diri dari diskriminasi dan kekerasan di Myamar ke negara tetangga di Asia Tenggara. Lebih dari 3.500 imigran Rohingya dari Myanmar dan Bangladesh terdampar di Indonesia dan Malaysia sejak awal Mei lalu.
Menurut catatan UNHCR, saat ini ada 1.974 pengungsi asal Rohingya dan Bangladesh yang ditampung di Aceh sejak bulan lalu. Mereka diselamatkan nelayan Aceh dari kapal nelayan yang terkatung di lautan selama berbulan-bulan, dalam keadaan dehidrasi dan kelaparan.
Indonesia dan Malaysia sepakat menawarkan tempat penampungan sementara selama satu tahun kepada ribuan imigran Myanmar dan Bangladesh yang masih terkatung-katung di lautan lepas, sembari mengupayakan repatriasi atau pemulangan kembali para imigran ke negara asal.
(ama/ama)