Jakarta, CNN Indonesia -- Perhimpunan negara-negara Asia Tenggara atau ASEAN dinilai tidak memiliki instrumen untuk mengatasi eksodus imigran yang kebanyakan datang dari salah satu negara anggota ASEAN, Myanmar.
Wakil Ketua Komisi I DPR, Tantowi Yahya memaparkan bahwa negara-negara ASEAN tidak melakukan upaya yang cukup untuk mendesak Myanmar menyelesaikan masalah diskriminasi terhadap etnis Rohingya di dalam negeri, yang menjadi penyebab eksodus manusia perahu ke sejumlah negara, seperti Indonesia, Malaysia dan Thailand.
"Perlu suatu instrumen khusus untuk menekankan bahwa masalah imigran Rohingya bukan hanya masalah satu dua negara. Parlemen antar negara harus bertindak, untuk mengingatkan pemerintah di masing-masing negara akan persoalan ini," kata Tantowi ketika ditemui dalam diskusi bertajuk Respons ASEAN dalam Krisis Imigran Rohingya, Selasa (16/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tantowi mengusulkan perlu adanya penguatan peran Majelis Parlemen antar negara ASEAN, atau AIPA, sebagai cara membawa krisis imigran Rohingya ke ranah regional dan internasional.
"Dalam pertemuan AIPA selanjutnya akan kita ketengahkan soal Rohingya," kata Tantowi.
Pendapat serupa juga dilontarkan oleh mantan perwakilan Indonesia untuk PBB dan mantan direktur eksekutif yayasan ASEAN, Makarim Wibisono. Makarim menggambarkan ASEAN semacam "macan ompong" dalam menyelesaikan masalah Rohingya,
"Tidak ada respon yang signifikan dari negara-negara ASEAN maupun sekretariat ASEAN hingga saat ini," ujar Makarim.
Myanmar selalu menutup diriTantowi menilai pemerintah Myanmar selalu menutup diri ketika berbicara di forum internasional soal diskriminasi terhadap Rohingya. Myanmar seakan tidak membuka pintu bagi negara lain untuk ikut membantu permasalahan ini.
"Ketika membicarakan Rohingya, Myanmar selalu bersikap defensif," kata Tantowi.
Tantowi memaparkan Myanmar seakan berlindung kepada peraturan
non-interference law atau peraturan untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri lainnya di ASEAN.
"Peraturan itu harus dievaluasi kembali untuk kepentingan bersama," kata Tantowi.
Sependapat dengan Tantowi, Perwakilan Badan Pengungsi PBB di Indonesia, Thomas Vargas, juga menyerukan pertimbangan lebih lanjut terhadap non-interference law.
"Harus dipertimbangkan mana yang boleh ikut campur, mana yang tidak," ujar Vargas.
Imigran etnis Rohingya melarikan diri dari diskriminasi dan kekerasan di Myamar ke negara tetangga di Asia Tenggara. Lebih dari 3.500 imigran Rohingya dari Myanmar dan Bangladesh terdampar di Indonesia dan Malaysia sejak awal Mei lalu.
Menurut catatan UNHCR, saat ini ada 1.974 pengungsi asal Rohingya dan Bangladesh yang ditampung di Aceh sejak bulan lalu. Mereka diselamatkan nelayan Aceh dari kapal nelayan yang terkatung di lautan selama berbulan-bulan, dalam keadaan dehidrasi dan kelaparan.
Indonesia dan Malaysia sepakat menawarkan tempat penampungan sementara selama satu tahun kepada ribuan imigran Myanmar dan Bangladesh yang masih terkatung-katung di lautan lepas, sembari mengupayakan repatriasi atau pemulangan kembali para imigran ke negara asal.
(den)