Jakarta, CNN Indonesia -- Layanan keamanan Inggris, MI5 memberikan upah sebesar 2.000 pound sterling, atau sekitar Rp44 juta kepada agen mata-mata Muslim dalam misi kontraterorisme dalam negeri.
Diberitakan media Inggris, The Independent, MI5 dilaporkan mengirimkan informan Inggris dalam tugas jangka pendek untuk memata-matai sejumlah target, termasuk masjid, sebagai upaya mencegah berkembangnya ekstremis Islam di dalam negeri.
Hal ini diungkapkan seorang sumber yang tak disebutkan namanya kepada The Observer, bahwa para informan di seluruh Inggris, termasuk di London dan Manchester, diberikan misi pengumpulan informasi intelijen sementara dengan imbalan satu kali pembayaran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu pengumpulan informasi intelijen yang dicontohkan sang sumber adalah pembayaran sebesar 2.000 pound sterling untuk seorang mata-mata yang diminta untuk mengawasi kegiatan masjid selama enam minggu.
Hal ini terungkap beberapa hari sejak direktur jenderal MI5, Andrew Parker diwawancarai pertama kalinya di program BBC Radio 4 Today. Dalam wawancara tersebut, Parker menyatakan begitu banyak rencana serangan teror dalam negeri selama 30 tahun dia berkarir.
Parker menyatakan bahwa sebanyak enam rencana serangan teror berhasil digagalkan pada tahun lalu.
Meski demikian, memberikan upah kepada informan untuk misi tertentu dinilai masih kontroversial. Salman Farsi, juru bicara untuk Masjid London Timur, mempertanyakan nilai dan kualitas informasi intelijen yang dikumpulkan dengan imig-iming uang ribuan pound sterling.
"Ketika mereka menjanjikan uang, orang-orang akan berlomba-lomba mencari informasi, bahkan tak jarang mengarangnya. Memang itu pekerjaan yang baik, tetapi seharusnya mereka tidak perlu mengirimkan informan ke masjid untuk mencari tahu apa yang terjadi," kata Farsi, juru bicara masjid terbesar di Inggris.
"Kita perlu pendekatan baru, yaitu keterlibatan masyarakat," ujar Farsi melanjutkan.
Selain itu, dalam wawancara tersebut, Parker mendukung rancangan undang-undang pengawasan internet baru yang diinisiasi oleh Menteri Dalam Negeri Theresa May.
RUU tersebut menyatakan bahwa perusahaan media sosial seperti Facebook dan Twitter memiliki "tanggung jawab" untuk berbagi informasi tentang pengguna mereka.
Jika RUU itu disahkan, maka dinas keamanan Inggris dapat mendesak perusahaan penyedia jasa internet dan telepon untuk memberikan informasi pribadi tentang para konsumen mereka.
(ama/stu)