Jakarta, CNN Indonesia -- Pernyataan Mahmoud Abbas di mimbar PBB soal gagalnya Perjanjian Oslo dan menarik dirinya Palestina dari kesepakatan tersebut memang terdengar bombastis. Namun pengamat sangsi langkah konkret atas pernyataannya itu tidak akan pernah terlaksana, jika pun akhirnya dilakukan, tidak akan membawa perubahan yang berarti.
Keraguan para pengamat ini bukan tanpa alasan. Abbas memang mengatakan bahwa Perjanjian Oslo yang dibuat sebagai dasar negara Palestina merdeka sudah tidak relevan karena Israel selalu melanggarnya. Namun, Abbas tidak menjelaskan langkah-langkah konkret yang akan negaranya lakukan berikutnya.
"Deklarasi Abbas memang hal besar, tidak diragukan lagi. Namun hal ini omong kosong sebelum dia mulai mengambil langkah yang disebutkannya," kata Khalil Shikaki, pengamat dari lembaga Palestinian Center for Policy and Survey Research, dikutip dari New York Times, Rabu (30/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Shikaki mengatakan, dengan menarik diri dari perjanjian Oslo, berarti Palestina membatalkan seluruh kerja sama keamanan, ekonomi dan sipil dengan Israel. Selain itu, Abbas harus membubarkan pemerintahannya dan menyerahkannya pada Israel, yang disebut sebagai negara penjajah dan Palestina sebagai terjajah.
Tapi, lanjut dia, Abbas tidak akan melakukannya dalam waktu dekat. Kemungkinan, jika benar dilakukan, akan memakan waktu beberapa pekan dan bulan ke depan.
Hal serupa disampaikan oleh Diana Buttu, pengamat politik di Ramallah, mantan penasihat Mahmoud Abbas.
"Pernyataan Abbas hanya akan punya arti sedikit, kecuali atau sampai dia membubarkan PA (Otoritas Palestina), berhenti bekerja sama dengan tentara Israel, membatalkan kerangka Solusi Dua-Negara, dan atau mendesak isolasi internasional untuk Israel," kata Buttu dalam wawancara yang dikutip dari situs lembaga Institute for Middle East Understanding.
Dengan membatalkan perjanjian tersebut, Palestina akan membubarkan pemerintahan dan mengakui Israel sebagai daerah penjajahan. Jika demikian, Israel harus bertanggung jawab terhadap rakyat Palestina, termasuk menanggung soal kesehatan dan pendidikan, yang akan kian memberatkan pemerintahan Benjamin Netanyahu.
Hal ini tidak akan dibiarkan oleh Israel. Buttu mengatakan, keberadaan pemerintah Palestina masih penting bagi Israel dan komunitas internasional. Begitu juga bagi warga Palestina yang masih bergantung secara ekonomi pada Israel dan komunitas internasional.
Selain itu, lanjut dia, Israel juga menjaga kepentingannya terhadap warga Palestina di wilayah pendudukan dengan mengendalikan pengiriman pajak yang sangat dibutuhkan pemerintah Abbas untuk menggaji pegawainya. Pemerintah Abbas merupakan pemberi kerja terbesar di Palestina karena usaha di negara itu selalu macet.
"Dengan kata lain, PA berfungsi untuk menjaga warga Palestina untuk tetap tunduk pada tuntutan Israel dan komunitas penyumbang. Hasilnya, Israel dan komunitas internasional, termasuk Amerika Serikat, akan tetap menjaga keberadaan Palestina, setidaknya dalam waktu dekat," kata Buttu.
Pengamat menuturkan bahwa ini adalah manuver putus asa Abbas yang merasa negara Palestina tidak akan pernah terwujud selagi pemerintah Israel sayap-kanan pimpinan Netanyahu masih memimpin.
Sentimen yang sama juga dirasakan oleh sebagian rakyat Palestina. Survei lembaga Palestinian Centre for Policy and Survey Research menunjukkan bahwa 51 persen warga Palestina tidak yakin Solusi Dua-Negara akan terwujud, sementara 61 warga menyatakan Palestina tidak akan bisa hidup berdampingan dengan Israel yang terus menerus membangun permukiman yang mengikis wilayah Tepi Barat.
"Sekarang, dengan pemerintahan sayap-kanan Israel keras mencengkeram dan tidak ada keterlibatan yang serius dari komunitas internasional untuk membendung ambisi perluasan Israel, Palestina paham bahwa proyek negara merdeka telah gagal total, dan yang terburuk adalah berlanjutnya kolonialisme Israel di wilayah Palestina," kata Youseff Munayeer, pengamat di lembata Arab Center of Washington dan direktur eksekutif U.S. Campaign to End the Israeli Occupation.
Cara lemahkan IsraelJalan satu-satunya untuk mengalahkan Israel adalah melakukan aksi boikot, divestasi dan sanksi (BDS). Buttu mengatakan, BDS terbukti berhasil di berbagai kesempatan, di antaranya dalam menghapuskan sistem apartheid di Afrika Selatan, dan gerakan Hak-hak Sipil Amerika Serikat.
"BDS bertujuan untuk mendesak terwujudnya kemerdekaan dan hak-hak Palestina menggunakan cara tanpakekerasan termasuk desakan ekonomi," kata Buttu.
Cara kedua, lanjut dia, adalah menyeret Israel ke Mahkamah Kriminal Internasional untuk pelanggaran hukum internasional dan HAM yang mereka lakukan terhadap rakyat Palestina. Ketiga, rakyat Palestina harus melakukan perlawan tanpa kekerasan, melalui aksi demonstrasi yang telah dilakukan di Tepi Barat beberapa tahun terakhir.
"Dikombinasikan, ketiga langkah ini lebih punya peluang lebih baik untuk kemerdekaan Palestina ketimbang melanjutkan perundingan bilateral atau bahkan multilateral, menuju Solusi Dua-Negara yang sudah mati bertahun-tahun lalu," tegas Buttu.
(den)