ASEAN Punya Kesepakatan soal Asap, Apakah Berfungsi?

Hanna Azarya Samosir | CNN Indonesia
Jumat, 09 Okt 2015 16:50 WIB
Indonesia sudah meratifikasi Persetujuan Polusi Asap Lintas Batas ASEAN sejak Januari 2015, namun di tengah bencana kabut asap, persetujuan itu tak berfungsi.
Kabut asap akibat kebakaran hutan di lima provinsi Indonesia merambah ke negara tetangga, termasuk Malaysia. (Reuters/Olivia Harris)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kebakaran lahan dan hutan yang menyebabkan merebaknya kabut asap di langit Asia Tenggara sempat membuat keruh hubungan Indonesia dengan negara-negara di kawasan ASEAN.

Singapura, Malaysia, dan Thailand berulang kali menyerukan agar Indonesia segera menganggulangi kebakaran lahan tersebut karena asap mulai mengganggu kehidupan warga mereka.

Merujuk data Center for International Forestry Research (CIFOR), kabut asap pun diprediksi merugikan perekonomian negara komunitas ASEAN sebesar US$10 miliar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia, Singapura, sudah berulang kali menawarkan bantuan dan ditolak oleh pemerintah. Malaysia pun sebenarnya sudah mengindikasikan niat baik untuk membantu pemerintah Indonesia.

Butuh waktu cukup lama sebelum akhirnya pemerintah Indonesia resmi menerima bantuan dari Singapura dan Malaysia pada Kamis (8/10), padahal sebagai anggota ASEAN, ketiga negara sudah meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) atau Persetujuan Polusi Asap Lintas Batas ASEAN.

Dengan meratifikasi AATHP, negara anggota ASEAN sepakat untuk bekerja sama mengatasi masalah asap di kawasan. Namun, Indonesia tidak menggunakan AATHP sebagai landasan untuk mengatasi masalah kebakaran hutan yang mulai merugikan negara di kawasan ASEAN.

Menurut Direktur Kerja Sama Fungsional ASEAN Kementerian Luar Negeri, George Lantu, alasan pemerintah tidak menjadikan AATHP sebagai landasan adalah kerumitan mekanisme.

"Untuk memberikan bantuan di suatu negara ASEAN, negara tertentu harus menyampaikan permintaan. Negara yang dimintai, harus memberikan persetujuan," ujar George saat ditemui CNN Indonesia di Jakarta, Kamis (8/10).

Hal ini memang tertuang dalam Pasal 12 AATHP yang mengatur mengenai tanggapan darurat bersama melalui ketentuan pemberian bantuan.

"Bantuan  hanya  dapat  digunakan  atas  permohonan  dari  dan  dengan persetujuan dari pihak pemohon, atau, bila ditawarkan oleh pihak lain dengan persetujuan dari pihak penerima bantuan," bunyi pasal 12 ayat 2 AATHP.

Menurut George, jika berlandaskan pada AATHP, Indonesia harus mengikuti kerangka kerja ASEAN yang dianggap rumit.

"Mekanisme ASEAN harus konsensus. Ada permintaan, ada pemberitahuan kepada seluruh negara anggota yang lain, duduk bersama, baru diputuskan. Dalam kerangka ASEAN, tidak pernah negara hanya meminta dari satu negara ke negara yang lain. Yang lain pun harus diberi tahu," tutur George.

Konsensus tersebut memang merupakan prinsip dasar pengambilan keputusan yang tertuang dalam Pasal 20 ayat 1 Piagam ASEAN.

"Melihat rumitnya mekanisme AATHP dan ASEAN, pemerintah Indonesia cenderung memilih kerja sama secara bilateral. Dengan tidak menggunakan AATHP, lebih memudahkan negara asing untuk memberikan bantuan. Bilateral akan lebih mudah. Tidak ada sanksi juga," kata George.

Indonesia sendiri sudah menempuh jalan panjang untuk akhirnya meratifikasi AATHP. Sejak rampung digodok pada 2002, Malaysia menjadi negara pertama yang meratifikasi AATHP. Indonesia merupakan negara terakhir yang meratifikasi, tepatnya pada Januari 2015.

"Proses di Indonesia tidak mudah. Negara sangat demokratis. Parlemen melakukan uji, bertanya ahli, pertimbangkan untung rugi. Butuh waktu bertahun-tahun," kata George, ketika ditanya mengapa Indonesia begitu lama menandatangani kesepakatan itu.

Meskipun sudah melalui proses panjang hingga akhirnya meratifikasi AATHP, Indonesia tetap saja tidak menggunakan aturan tersebut untuk menanggulangi bencana asap. Lalu apa pentingnya persetujuan itu dan mengapa Indonesia menandatanganinya?

"Nah, ini juga menjadi pertanyaan buat saya. Kalau ini jalan, seharusnya masalah asap menjadi masalah antar negara ASEAN, kewajiban dari negara-negara itu. Seharusnya ada pusat penanganan ASEAN," kata Hikmahanto Juwana, pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, kepada CNN Indonesia, Jumat (9/10).

Jika ini ditangani berdasarkan AATHP, kata Hikmahanto, masalah asap lintas batas ini menjadi masalah yang harus ditangani bersama.

"Jadi pertanyaan bukan lagi soal asap dari mana, tapi jadi masalah bersama," katanya. (stu)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER