Kecam Intoleransi, Para Penulis India Kembalikan Penghargaan

Agust Supriadi | CNN Indonesia
Kamis, 15 Okt 2015 05:31 WIB
Lebih dari 40 novelis, penulis esai, dramawan dan penyair mengembalikan penghargaan yang diterimanya dari lembaga sastra bergengsi di India, Akademi Sahitya.
Salman Rushdie, penulis India. (Ben Pruchnie/Getty Images)
Jakarta, CNN Indonesia -- Puluhan penulis India mengembalikan penghargaan nasional mereka sebagai bentuk protes terhadap intoleransi yang berkembang di India.

Kampanye perdana yang dilakukan oleh para sastrawan india terkemuka itu dilakukan menyusul terjadinya insiden kekerasan komunal dan serangan terhadap kaum intelektual sejak Partai Nasionalis Hindu Bharatiya Janata (BJP) meraih kekuasaan pada Pemilu tahun lalu .

Lebih dari 40 novelis, penulis esai, dramawan dan penyair mengembalikan penghargaan yang diterimanya dari lembaga sastra paling bergengsi di India, Akademi Sahitya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akademi Sahitya merupakan lembaga yang didirikan hampir 60 tahun lalu oleh tokoh kemerdekaan dan mantan perdana menteri India, Jawaharlal Nehru.  

Salah satu yang mengembalikan penghargaan adalah jurnalis sekaligus  penulis Nayantara Sahgal, yang merupakan keponakan dari Nehru. Dia menganggap keragaman budaya India dan perdebatannya sekarang di bawah serangan setan.

Pada Selasa lalu, novelis berusia 80 tahun, Dalip Kaur Tiwana mengembalikan penghargaan Padma Shri, yang merupakan penghargaan nasional paling bergengsi yang dimenangkannya pada 2004.

Tiwana mengatakan, ini merupakan bentuk solidaritas sekaligus protes terhadap komunalisasi yang meningkatnya di masyarakat.

Dua insiden yang telah membuat marah sebagian penulis adalah hukuman mati tanpa pengadilan terhadap seorang buruh Muslim pada bulan lalu, dan pembunuhan seorang pemikir rasionalis pada Agustus.

Kejadian pertama terjadi di desa Bisara di pinggiran kota Delhi, ketika massa memukuli Mohammed Akhlaq hingga mati. Alkhlaq merupakan buruh muslim yang diduga memakan daging sapi. Sapi merupakan hewan yang dianggap suci dalam agama Hindu.

Insiden kedua menimpa Malleshappa Kalburgi, seorang sarjana pemenang penghargaan yang sering mengkritik hal-hal yang dianggapnya sebagai keyakinan yang keliru dan takhayul. Pemikiran itu telah membuat marah kaum ekstrimis Hindu yang berujung pada tertembaknya Kalburgi di kota Karnataka, India bagian selatan.

"Membunuh orang-orang yang membela kebenaran dan keadilan membuat kami malu di mata dunia dan Tuhan," kata Tiwana.

Para penulis, baik yang menulis dalam bahasa Inggris maupun bahasa daerah, telah menyerukan kepada Akedemi Sahitya untuk mengutuk pembunuhan Kalburgi secara terbuka.

Meningkatnya ketegangan sektarian dalam beberapa tahun terakhir sering kali bertepatan dengan pelaksanaan pemilu. Saat ini, pemungutan suara sedang berlangsung dalam pemilihan tingkat negara bagian di wilayah timur India.

Samir Saran, pengamat dari Research Foundation, mengatakan kelompok Hindu sayap kanan di India menjadi lebih keras dan lebih fanatik setelah Pemimpin BJP Narendra Modi memenangkan jajak pendapat pada tahun lalu.  

"Apa yang merayap ke dalam kehidupan India sekarang adalah tingkat kekerasan premanisme yang baru. Dan tampaknya mendapatkan izin karena badan-badan resmi India cenderung diam, Akademi Sahitya juga diam," katanya.

Sebelumnya, Modi berbicara tentang hukuman mati tanpa pengadilan pada bulan lalu, serta pembatalan konser musisi Muslim Pakistan di Mumbai berikut ancaman dari kelompok sayap kanan. Perdana menteri berkuasa itu menyebutnya sebagai insiden "malang" dan mengatakan pemerintahnya tidak menyalahkan para pelaku.

Pejabat senior BJP menganggap protes para penulis ini bermotif politik.

"Jika mereka mengatakan mereka tidak mampu menulis, biarkan mereka berhenti menulis," ujar Mahesh Sharma, Menteri Kebudayaan India kepada wartawan.

Kendati demikian, ia mengutuk aksi pembunuhan sadis Kalburgi dan Mohammed Akhlaq.

Kekerasan sektarian telah memiliki dampak yang signifikan terhadap citra India di luar negeri dan bisa melemahkan kredibilitas Modi untuk menarik investor.

Awal tahun ini, seorang novelis India Perumal Murugan mendapatkan ancaman dan protes dari kelompok sayap kanan Hindu terkait dengan peredaran bukunya tentang upaya seorang wanita untuk hamil dengan orang asing melalui ritual keagamaan.

Murugan mengatakan ia berencana untuk berhenti menulis dan meminta penerbit untuk menarik semua karyanya fiksi dari penjualan.

Ini merupakan sejarah panjang terjadinya konflik budaya atas sensor yang dilakukan partai dan para pemimpin politik di India.

Seperti halnya Novel The Satanic Verses karya Salman Rushdie tahun 1988 sampai saat ini masih dilarang beredar di India dan penulisnya tidak dapat tampil di festival sastra Jaipur pada 2012 setelah diprotes organisasi Muslim.

Politisi telah berulang kali berusaha untuk melarang atau membatasi penjualan atau produksi buku-buku tertentu. Pada tahun 2010, anggota parlemen yang setia kepada Sonia Gandhi mengancam tindakan hukum untuk menghentikan penjualan "biografi fiksi" dari pemimpin partai Kongres.

"Ini menjadi pertanyaan dari hak individu untuk berbicara, berpikir, menulis, makan, berpakaian, untuk berdebat," kata Maya Krishna Rao, seorang penulis drama dan aktor, yang juga mengembalikan penghargaan. (ags/ags)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER