Jakarta, CNN Indonesia -- Di tengah kecaman dunia atas situasi kemanusiaan di negaranya, Korea Utara justru mengkritik hasil peninjauan penegakan hak asasi manusia di Australia yang tertuang dalam Universal Periodic Review.
Australia memang tengah menjadi sorotan internasional karena kebijakan "zero entry" dalam menangani imigran yang ingin memasuki wilayahnya.
Awal pekan ini dilaporkan kerusuhan pecah di pusat detensi pengungsi Australia di Pulau Christmas. Diduga, peristiwa ini terjadi akibat kemarahan para imigran ketika seorang kawan mereka ditemukan tewas setelah kabur dari fasilitas tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti dilansir The Independent, delegasi Korut lantas mengatakan bahwa Australia harus berupaya lebih keras untuk, "menghentikan penganiayaan dan kekerasan terhadap pengungsi, termasuk kekerasan seksual oleh petugas di pusat-pusat penampungan."
Selain itu, Korut juga mendorong Australia agar menghentikan diskriminasi ras, terutama terhadap penduduk pribumi.
Namun menurut The Independent, pernyataan Korut ini cukup munafik. Pasalnya, Korut sendiri juga dikecam luas akibat pelanggaran HAM di negaranya.
Merujuk pada laporan Human Rights Watch, Korut menculik dan memaksa repatriasi para pembelot yang kabur ke Korea Selatan dan China. Amnesty International juga melaporkan bahwa puluhan ribu warga Korut diperbudak dan disiksa di bawah rezim Kim Jong Un.
"Di bawah pemimpinnya, Kim Jong-un, Korut melanggar seluruh hak asasi manusia yang ada," demikian bunyi laporan Amnesty International.
Menurut Amnesty International, pemerintah Korut menahan semua bentuk kebebasan berekspresi dan beropini. Pemerintah membungkam semua oposisi politik, media independen, serikat perdagangan bebas, organisasi masyarakat sipil, dan kebebasan beragama.
"Demikian pula dengan kekerasan HAM yang sistemis dan meluas. Korut juga menderita krisis pangan. Ada malnutrisi besar-besaran dan laporan orang mati kelaparan merupakan hal biasa," tulis Amnesty International.
(den)