Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Korea Selatan akan menerbitkan buku sejarah untuk digunakan di sekolah sejak 2017 mendatang, sebagai langkah untuk menghentikan ajaran saat ini yang dinilai ”bias ideologi".
Penghentian penggunaan buku sejarah yang ditulis sarjana swasta dan diterbitkan oleh sektor swasta ini memicu perdebatan selama berpekan-pekan. Publik adu argumen tentang apakah langkah ini demokratis bagi pemerintah untuk mendikte bagaimana pergolakan sejarah modern diajarkan.
Hal itu juga mengundang kecurigaan akan motif Presiden Park Geun-hye untuk mengadopsi kebijakan itu, di tengah tajamnya perbedaan pandangan atas kepemimpinan ayahnya, Park Chung-hee.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Park, yang berkuasa berkat kudeta militer tahun 1961 hingga tewas dibunuh pada 1979, berhasil membawa pembangunan modern dan industrialisasi di Korea Selatan, dengan demokrasi sebagai alat tukarnya.
Menurut Perdana Menteri Hwang Kyo-ahn, banyak buku terbitan swasta yang kini digunakan di sekolah menengah dan atas mencoba memuliakan Korea Utara dengan mendiskreditkan pencapaian Korea Selatan.
"Kita tidak bisa lagi mengizinkan penggunaan buku sejarah yang menyimpang dan bias untuk mengajar anak-anak kita yang berharga," katanya di sebuah konferensi pers, dilansir dari Reuters pada Selasa (3/11). "Kita harus memperbaiki cara buku sejarah diterbitkan, sehingga kita bisa membuat buku yang benar."
Contoh penyimpangan itu, kutip Hwang, adalah kesalahan yang dilimpahkan sejumlah buku ke Amerika Serikat pada serangan terhadap kapal perang Korea Selatan, Cheonan, tahun 2010. Buku lain tidak menyinggung serangan itu sama sekali, kata Hwang.
Alih-alih, Korea Utara yang dituding bertanggung jawab atas peristiwa tersebut, meski Pyongyang menampiknya.
Pekan lalu, Park membela kebijakan ini karena dianggap perlu untuk mendongkrak rasa bangga atas pencapaian negaranya.
Namun sikap itu dianggap sebagai kemunduran demokrasi oleh para kritikus. Pembelaan tersebut membuktikan niat pemerintah untuk melumpuhkan ragam pandangan tentang sejarah, serta melupakan perjuangan Korea Selatan demi mencapai demokrasi.
"Buku sejarah terbitan pemerintah tidak hanya akan mempercantik keditaktoran, tetapi adalah diktator itu sendiri," ujar Moon Jae-in, pemimpin oposisi Aliansi Politik Baru untuk Demokrasi.
Moon menambahkan, selain di Korea Utara sekarang, sistem serupa juga diterapkan selama ayah Park berkuasa.
Tetapi Perdana Menteri Hwang menolak pandangan bahwa buku terbitan pemerintah adalah upaya mengagungkan keditaktoran di Korea Selatan modern. Menurutnya, hal itu "mustahil".
"Masyarakat kita cukup dewasa untuk tidak mengampuni itu," Hwang menandaskan.
(stu)