Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia --
Pada November 1914 silam, bersama meletusnya Perang Dunia I, Kesultanan Ottoman mengumandangkan jihad dan mendorong pengikutnya agar angkat senjata melawan sejumlah negara seperti Perancis, Rusia, dan Inggris. Hari ini, semangat perjuangan itu masih didengungkan oleh al-Qaidah dan ISIS, berikut praktiknya pada serangan berdarah di Paris pada Jumat (13/11) malam waktu setempat.
Tragedi yang hingga saat ini menewaskan 129 orang tersebut sontak mengundang rasa prihatin dunia. Presiden Perancis, Francois Hollande bahkan bertekad, "Kita akan memimpin perlawanan dan akan sama kejamnya." Deklarasi itu kemudian disusul dukungan solidaritas dari Presiden Amerika Serikat, Barack Obama serta Perdana Menteri Inggris, David Cameron.
Meski begitu lantang, janji para pemimpin Barat untuk menghabisi ISIS terasa hambar dan remeh saja bila tak diikuti langkah nyata. Digenggamnya Paris oleh ISIS menjadi refleksi kegagalan Barat untuk menghancurkan mereka, sebab ISIS yakin Barat tak akan melangkah lebih daripada sekarang yang kian terjebak pada strategi di angkasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengapa demikian?
Ketergantungan pada serangan udaraStrategi Barat melawan ISIS memang bergantung pada serangan udara dan melatih kelompok pemberontak sekuler di Irak dan Suriah. Pasukan Barat menghindari menyasar target-target ISIS lantaran militan itu seringkali beroperasi di tengah penduduk sipil, serta menjadikan sandera sebagai perisai manusia, sehingga berpotensi menewaskan warga tak bersalah.
Ketiadaan pasukan darat semakin mempersulit Barat untuk menyusupkan intelijen ke aset-aset potensial ISIS. Sebagai catatan, petinggi ISIS kerap berkelana dan berkomunikasi dengan beragam metode demi tak terlihat. Akhirnya, mencegah bertambahnya kekuatan ISIS dengan pengerahan kekuatan udara besar-besaran menjadi percuma saja.
Perihal teritori yang dikuasainya, ISIS tak kalah lihai dengan memprioritaskan kota-kota antara Irak dan Suriah demi memudahkan suplai senjata. Serangan udara justru terputus di rute ini. Ketimbang menurun, kemampuan operasional ISIS malah terus tumbuh, menjamur, dan luas, berkat bantuan sekutunya di Mesir, Afghanistan, Maghreb, hingga Nigeria.
Satu-satunya pasukan darat yang efektif di wilayah itu adalah tentara Kurdi atau Peshmerga, yang belum lama ini merebut kembali kota utara Irak yang strategis, Sinjar, dibantu pasukan udara AS. Peshmerga kemudian dapat menyerang Highway 47, jalur suplai ISIS antara Suriah dan kota Mosul, Irak, yang diduduki kelompok teror itu. Serbuan tersebut mampu memaksa ISIS mencari jalur penyelundupan lain yang lebih berbahaya bagi mereka. Inilah contoh serangan udara yang berhasil, hanya jika didampingi operasi darat yang sama efektif.
Selepas tragedi Paris, Barat kini punya tiga pilihan. Pertama, lanjut menggunakan strategi saat ini yang telah terbukti gagal. Kedua, memulai operasi darat bersama sekutu lokal di Suriah dan Irak untuk mengacak-acak jaringan ISIS. Atau ketiga, menyerah sama sekali akan Irak dan Suriah seperti yang diinginkan ISIS. Ketiganya memang bukan tanpa risiko dan konsekuensi, tetapi mengkalkulasi ulang strategi dibutuhkan segera demi mencegah serangan berdarah berikutnya.
KekejamanPerlu dipahami bahwa dibalik kekejian yang diperbuat ISIS, ada ideologi yang jadi bahan bakar rekrutmen, strategi, dan taktik mereka. Ideologi dan rencana ISIS berpangkal dari risalah "Manajemen Kekejaman". Tujuan akhir mereka adalah konsekuensi politik, ekonomi, dan sosial melalui "kekejaman".
"Manajemen Kekejaman" yang menjadi panduan mereka merupakan sebuah doktrin konseptual yang memungkinkan dilancarkannya operasi secara kompak tanpa komunikasi konstan. Komandan ISIS bisa memberi arahan kepada anggotanya tentang apa yang perlu dicapai, namun anggotanya bebas menentukan cara mewujudkannya. Baik sendiri maupun berkelompok, keduanya termotivasi oleh ideologi ISIS. Aksi serangan dirancang untuk memvisualisasi kekerasan dan menciptakan ketakutan, layaknya yang terjadi di Paris.
 Usai mengklaim serangan teror di Paris pekan lalu, ISIS mengancam akan menyerang Washington melalui video terbarunya. (Reuters/Social Media Website) |
Manajemen macam ini, ditambah gagalnya serangan udara oleh Barat, telah mewujud dari teori menjadi praktik mematikan. Sejak September 2014, ISIS telah mengeluarkan tiga pesan yang masing-masing menghasut peningkatan keganasan serangan mereka, serta menyebut secara spesifik sejumlah negara dan aliran Islam sebagai targetnya.
Di antaranya serangan terhadap polisi di Kanada, Amerika Serikat, dan Perancis; operasi penyanderaan di Australia dan Tunisia; bom bunuh diri terhadap warga Syiah di Libanon dan Kuwait; perampokan di Tunisia dan Perancis; serta tudingan teranyar atas jatuhnya pesawat Metrojet asal Rusia di gurun Sinai, Mesir, akhir Oktober lalu yang menyebabkan 224 orang tewas.
Jalur teror
Intelijen dirancang untuk menggagalkan rencana. Tiap satu rencana oleh teroris yang gagal maupun dibatalkan, setidaknya masih ada lima lain yang siap dilaksanakan, yang mampu begitu saja lolos dari aparat keamanan.
Sebelum memutuskan mengerahkan pasukan darat dan intelijen untuk menjagal ISIS, apakah Barat punya batas terhadap kekejaman fatal yang mereka perbuat?
Serangan Paris terjadi di tengah titik kritis perlawanan terhadap ISIS, mirip seperti serangan al-Qaidah di Kedutaan Besar AS di Kenya dan Tanzania tahun 1998, serta kapal USS Cole di lepas pantai Yaman tahun 1999. Keduanya berujung respons serangan udara AS di Afghanistan ketimbang langsung mematikan kekuatan kelompok teroris tersebut. Reaksi AS yang tanggung itu memberi kesan kepada al-Qaidah bahwa serangannya belum melampaui ambang batas kemarahan AS, dan malah mendorong aksi yang lebih dahsyat di tanah Paman Sam berupa tragedi 11 September 2001.
Bila ISIS terus menggunakan program dan doktrin Manajemen Kekejaman, dan Barat tak kunjung menyadari kegagalan strateginya usai tragedi Paris, aksi terorisme bisa dipastikan semakin meningkat di Eropa dan Amerika Serikat.
(mel/ama)