Jakarta, CNN Indonesia -- Hanya beberapa hari menjelang Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN pada 21-22 November, Malaysia menahan empat warganya dan satu orang Indonesia yang diduga terkait dengan ISIS dan jaringan teror Imam Mah-di.
Dilaporkan kantor berita Malaysia, Bernama, kelima orang ini ditahan dalam dua operasi khusus Kepolisian Kontra-Terorisme pada 9 dan 13 November. Tiga di antaranya diduga akan bergabung dengan ISIS di Suriah, sementara dua lainnya merencanakan serangan di beberapa lokasi di Klang Valley.
"Empat warga lokal, sementara satu lainnya adalah warga negara Indonesia," kata Khalid Inspektur Jenderal Kepolisian Malaysia, Tan Sri Khalid Abu Bakar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Khalid, satu dari tiga orang yang diduga akan bergabung dengan ISIS tersebut merupakan WNI.
Sebelumnya, WNI dan satu warga Malaysia lainnya yang merupakan asisten farmasi di Kementerian Kesehatan itu pernah ditahan oleh kepolisian Johor dan diadili di bawah hukum Immigration Act.
Satu terduga ISIS lainnya berasal dari Petailing Jaya dan pernah bekerja sebagai petugas senior di Felda Global Ventures sebelum akhirnya memilih untuk bergabung dengan Voluntary Separation Scheme (VSS) pada Agustus lalu.
"Ia pergi ke Turki pada 21 Oktober untuk memasuki Suriah dan bergabung dengan ISIS. Perjalanannya ke Suriah diatur oleh warga Somalia yang ia kenal melalui Twitter," kata Khalid.
Namun, upayanya gagal ketika ditahan oleh otoritas Turki pada 25 Oktober, bersama dengan sembilan warga asing lain dari Uighur, Maroko, dan Rusia. Ia pun dideportasi ke Malaysia.
Sementara itu, dua orang lainnya diduga merupakan anggota Imam Mah-di ditahan di Selangor.
"Salah satu yang berusia 28 tahun diduga merencanakan serangan di beberapa lokasi di Klang Valley. Tersagnka yang berusia 30 tahun adalah mantan anggota Al-Ghuraba, bagian dari Jemaah Islamiah, dan pernah ditahan pada 2003 di Karachi, Pakistan," tutur Khalid.
Jelang KTT ASEANSeperti dilansir Channel NewsAsia, penangkapan ini terjadi ketika Malaysia meningkatkan keamanan menjelang kehadiran beberapa pemimpin dunia, termasuk Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, dalam KTT ASEAN.
Beberapa KTT, seperti G20, APEC, dan ASEAN memang dibayangi aksi teror setelah tragedi di Paris yang menewaskan 132 orang pada Jumat (13/11) lalu.
Setelah serangan terjadi, pemerintah Malaysia langsung memperketat pengamanan, termasuk di seluruh jalur masuk negara. Malaysia mengaku mengerahkan segala tenaga untuk mencegah aksi teror di negaranya, terutama selama KTT ASEAN berlangsung.
Berbicara di hadapan parlemen, Wakil Menteri Dalam Negeri Malaysia, Nur Jazlan, memastikan bahwa polisi kontra-terorisme dan unit intelijen khusus memantau ketat komunikasi siber di antara terduga militan.
"Setelah apa yang terjadi dengan Charlie Hebdo pada Januari, orang seharusnya tak terlalu terkejut dengan apa yang terjadi di Paris. Anda dapat melihat betapa sulitnya otoritas memantau dan menghentikan teroris jenis baru ini," ujar Nur.
Menurut Nur, teroris jenis baru ini memiliki modus operasi yang unik.
"Mereka beroperasi dalam kelompok-kelompok kecil berjumlah lima hingga 10 orang, tapi mereka dapat menyebabkan dampak besar," katanya.
Selama ini, Malaysia memang dikenal sangat aktif dalam menangkal teror. Sejak 2013, Malaysia telah menahan lebih dari 150 tersangka teroris, termasuk 24 perempuan.
Malaysia juga berhasil menahan banyak orang yang ingin meninggalkan negaranya untuk bergabung dengan ISIS di Timur Tengah. Namun kini, menurut intelijen kepolisian, Malaysia menjadi target ISIS.
Dugaan ini mencuat setelah melihat pola serangan dua arah ISIS, yaitu ke Irak-Suriah, dan negara-negara yang menentang mereka.
"Sikap kami dalam menentang mereka sangat jelas. Kami mengajak 10 negara anggota ASEAN bersatu melawan mereka. Kami dalam fase Islam moderat yang tidak mewakili mereka," ucap Menteri Pertahanan Malaysia, Hishammuddin Hussein.
Kendati demikian, pada Oktober lalu Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, berjanji menerima 3.000 pengungsi Suriah selama tiga tahun.
Malaysia mengaku tak akan ingkar janji meskipun penyelidikan awal insiden Paris mengindikasikan bahwa pelaku bom bunuh diri diduga masuk Eropa bersama dengan arus imigran Suriah.
"Jangan samakan semua pengungsi Suriah. Kami kira, mereka bukan teroris, tapi kami harus menyaring latar belakang mereka untuk memastikan mereka tak mengancam negara kami jika kami memutuskan untuk menerima mereka," kata Nur.
(stu)