Jakarta, CNN Indonesia -- Setiap kali serangan teror terjadi di negara Barat, berita mengenai Islamofobia selalu terseret di belakangnya. Namun menurut dosen studi Islam di University of California, Muhammad Ali, isu Islamofobia sebenarnya terlalu dibesar-besarkan.
"Tidak ada Islamofobia di Amerika Serikat. Islamofobia itu hanya ada di media. Di kehidupan sehari-hari tidak ada. Kita sangat bebas beribadah dan melakukan praktik Islam di sana," ujar Muhammad dalam acara diskusi “Islam di Amerika” di pusat kebudayaan AS, @america, di Jakarta, Kamis (19/11).
Namun, Muhammad tak menampik bahwa ada pihak yang sangat ekstrem menunjukkan penolakan terhadap umat Islam di AS. Hal tersebut juga diamini oleh guru besar Universitas Islam Negeri Jakarta, Azyumardi Azra.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selalu ada ekstremis di setiap tempat. Ada pendeta bakar Al-Quran di California, tapi itu bukan representasi orang Amerika secara keseluruhan," katanya.
Azyumardi lantas menarik contoh kehidupan umat Muslim sebagai mayoritas di Indonesia.
"Ada Muslim bernama Amrozi yang melakukan pengeboman di Bali. Namun, bukan berarti Islam di Indonesia seperti itu, kan?" ucap Azyumardi.
Terlepas dari kaum ekstrem tersebut, Muhammad juga mengakui ada beberapa orang yang memang memandang skeptis umat Muslim di Amerika Serikat.
"Mereka takut karena kita tidak seperti orang biasa, nyentrik karena pakai cadar, tidak bergaul, menutup diri," kata Muhammad.
Karena itu, Muhammad mengimbau agar umat Muslim di AS untuk membuka diri dan memperkenalkan Islam yang moderat.
"Bergaul. Undang makan, kasih makanan Indonesia. Mereka senang keramahan orang Indonesia. Secara garis besar, sebenarnya masyarakat Amerika itu sangat terbuka dengan perbedaan," katanya.
Begitu terbukanya orang Amerika, kata Muhammad, mereka bingung melihat banyaknya pemberitaan mengenai Islamofobia sehingga justru tertarik untuk mempelajari Islam.
"Di tempat saya mengajar, banyak orang Amerika dan negara lainnya justru tertarik mempelajari baca Al-Quran dan ilmu Islam," tutur Muhammad.
Ia melihat ini sebagai kesempatan memperkenalkan Islam moderat. "Ada musibah, ada hikmah. Mereka malah mau belajar. Atheis saja belajar baca Al-Quran," ucap Muhammad.
Atase Kebudayaan Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Deborah Lynn, pun mengajak lebih banyak pelajar Indonesia untuk melanjutkan studi di negaranya.
"Saya ingin lebih banyak pelajar Indonesia ke Amerika. Mereka bisa berbagi tentang Indonesia dan Islam moderat. Ajari orang Amerika tentang bagaimana Indonesia," katanya.
Hasil pendekatan yang baik dari umat Muslim di AS pun sudah terbukti keberhasilannya.
"Orang yang sudah mengenal Indonesia dan Islam yang sesungguhnya justru sangat menyukai Islam. Mereka tidak akan terpengaruh pemberitaan. Hubungan baik lebih penting daripada pemberitaan," ucap Muhammad.
(stu)