Jakarta, CNN Indonesia -- Israel tengah mempertimbangkan taktik baru untuk membendung gelombang kekerasan Palestina, yaitu dengan pengusiran orang tua dan kerabat pelaku dari Tepi Barat ke Jalur Gaza, wilayah yang relatif lebih miskin yang diblokade dan dikontrol oleh Hamas.
Kantor berita Israel, Haaretz, memberitakan bahwa proposal aturan tersebut akan diberlakukan terhadap kerabat yang mengetahui rencana penyerangan dan mendukungnya.
Rancangan aturan ini menuai kritik dari beberapa kelompok pemerhati hak asasi manusia yang mengatakan bahwa hal ini merupakan hukuman kolektif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur kelompok HAM HaMoked, Dalia Kerstein, mengatakan bahwa deportasi kerabat pelaku kekerasan ke Gaza akan melanggar Konvensi Jenewa Keempat. "Jika kerabat mengetahui tentang sebuah serangan atau terlibat dalam kekerasan, mereka seharusnya diadili," katanya.
Namun sebelum dapat diadaptasi, rancangan ini harus diterima terlebih dahulu oleh penasihat hukum pemerintah.
Seperti dilansir The Independent, negara pimpinan Benjamin Netanyahu ini memang sudah menerapkan hukuman kolektif bagi orang Palestina yang melakukan kekerasan terhadap warga Israel dengan menghancurkan rumah keluarga mereka. Pemerintah berdalih, mereka menghindari adanya serangan lanjutan.
Meskipun Israel sudah menerapkan aturan ketat, kekerasan tetap terjadi.
Dalam kasus terakhir, seorang sopir Palestina menabrakkan mobilnya ke pos pemeriksaan di utara Tepi Barat pada Selasa (24/11), melukai 2 petugas keamanan dan seorang polisi perbatasan. Pria tersebut akhirnya ditembak oleh petugas.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry, menyatakan solidaritasnya dengan Israel saat bertemu dengan Netanyahu dan Presiden Reuven Rivlin.
"Saya berdiri bersama kalian untuk mengekspresikan kemarahan atas kekerasan seperti ini, untuk mengecam kekerasan dan menegaskan bahwa Israel tak hanya memiliki hak untuk membela diri, tapi juga berkewajiban untuk melakukan itu," kata Kerry.
Seorang anggota komite eksekutif, Basil Abu Yusuf, menuding Kerry memutar balik peran korban dan pelaku kejahatan dalam situasi ini.
"Ia melihat apa yang terjadi akibat likuidasi pemuda Palestina dengan pendudukan tentara yang ada di tingkat kejahatan perang dan melihat pemukiman kolonial dan agresi yang terus berlanjut di Masjid al-Aqsa. Namun, ia malah berbicara mengenai apa yang disebut sebagai terorisme oleh orang Palestina dan bukan kejahatan dan terorisme terorganisir dari pendudukan tersebut," papar Yusuf.
Setidaknya 19 warga Israel dan 89 orang Palestina tewas sejak gelombang kekerasan menerjang pada pertengahan September. Pejabat Israel mengatakan bahwa 57 orang Palestina yang tewas terlibat dalam aksi penusukan, penembakan, atau serangan mobil terhadap warga sipil atau tentara.
(stu)