Warga Chicago Protes Kematian Remaja Kulit Hitam oleh Polisi

Melodya Apriliana/CNN | CNN Indonesia
Rabu, 25 Nov 2015 20:21 WIB
Warga Chicago turun ke jalan usai dirilisnya video penembakan Laquan McDonald, remaja kulit hitam, oleh polisi pada Oktober tahun lalu.
Warga Chicago turun ke jalan usai dirilisnya video penembakan Laquan McDonald, remaja kulit hitam, oleh polisi pada Oktober tahun lalu. (Reuters/Andrew Nelles TPX)
Jakarta, CNN Indonesia -- Usai kepolisian mengungkap video penembakan anggotanya terhadap remaja kulit hitam berusia 17 tahun asal Chicago, Laquan McDonald, demonstran berbondong-bondong turun ke jalan pada Selasa (24/11) demi mendesak dihukumnya pelaku.

McDonald tewas pada 20 Oktober 2014 silam di tangan anggota polisi berkulit putih, Jason Van Dyke, yang menembaknya 16 kali. Walikota Chicago pun menyerukan perdamaian di atas peristiwa itu.

"Saya percaya ini adalah momentum untuk membangun jembatan pengertian, ketimbang menjadi penghalang. Saya percaya bahwa publik akan kecewa dan hendak memprotes jika menyaksikan video ini," ujar Walikota Rahm Emanuel. "Atas nama penduduk kota, kita harus bangkit di momentum ini."

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dilansir dari CNN, Chicago memang telah menyiapkan protes besar menyambut perilisan video tersebut, yang diperintahkan oleh hakim sebelum hari Rabu.

Selasa kemarin, Van Dyke didakwa atas tuduhan pembunuhan tingkat pertama, dan kini tengah ditahan tanpa jaminan.

Dan tidak lama selepas pengungkapan video, sekelompok demonstran mulai berunjuk rasa sambil memekikkan "16 tembakan" dan "Kita harus melawan balik!"

Inspektur Kepolisian Chicago, Garry McCarthy, memaklumi protes tersebut sebab warga "punya hak untuk marah."

Sementara itu Asosiasi Nasional untuk Kemajuan Orang Kulit Berwarna, NAACP, juga menganggap keluarga McDonald dan publik yang lebih luas layak mendapat tindak lanjut yang jelas.

"Mereka berhak marah, mereka berhak protes, mereka berhak bebas berbicara," kata McCarthy. "Tetapi mereka tidak berhak melakukan tindak kriminal."

Dakwaan

Van Dyke, 37, menyerahkan diri kepada pihak berwenang pada Selasa dan kini tidak lagi digaji oleh institusinya. Hingga Selasa, ia hanya bertugas dalam "posisi terbatas" sebagai saksi untuk diperiksa terkait kematian McDonald.

"Saya memutuskan bahwa tindakan terdakwa yang menembak Laquan McDonald ketika korban tidak melakukan ancaman yang membahayakan fisik maupun jiwa, dan tembakan susulan saat McDonald sudah terkapar di tanah akibat tembakan sebelumnya, tidak dibenarkan dan bukan tindakan menembak mati yang perlu dilakukan oleh anggota polisi," kata Jaksa Wilayah Cook County, Anita Alvarez, menjatuhkan vonis atas Van Dyke.

Vonis tersebut jatuh hanya sehari sebelum tenggat perilisan video penembakan. Hingga akhir pekan lalu, pejabat daerah sempat menolaknya agar tak membahayakan penyelidikan yang sedang berjalan. Sebagian lain khawatir video itu dapat memantik reaksi keras yang lebih besar. Pengacara Van Dyke sendiri mengakui video tersebut "sangat nyata, mengganggu, dan sulit ditonton."

Kendati demikian, Alvarez menyebut tenggat itu tidak memengaruhi keputusannya untuk menghukum Van Dyke dengan vonisnya, sebab butuh waktu lama untuk menyelidiki kasus yang disebutnya rumit itu.

"Menjaga keamanan publik adalah pekerjaan saya yang nomor satu, dan saya tidak ingin publik melihat video ini tanpa mengetahui konteks amat penting bahwa, dengan vonis ini, kita memberi langkah keadilan yang utuh seperti diperlukan,"

Pembelaan

Menurut pihak berwenang, McDonald membawa pisau 3 inci di hari nahasnya. McDonald tidak mengindahkan "perintah polisi untuk menurunkan pisaunya", seperti dilaporkan oleh pengacara Van Dyke, Daniel Herbert, kepada harian Chicago Tribune.

Bagi Herbert, tidak ada yang salah dengan tindakan kliennya. Van Dyke justru khawatir akan diserang oleh McDonald. Ia menembak demi menyelamatkan orang-orang di tempat kejadian.

Tidak sedikit pula dari mereka yang membandingkan kasus McDonald dengan kasus kematian warga kulit hitam serupa, misalnya Michael Brown di St. Louis dan Walter Scott dari South Carolina. (Reuters/Jim Young)

"Dia takut akan mati, tetapi dia lebih takut meninggalkan istri dan dua anaknya," kata Herbert sebelum penjatuhan vonis. "Jauh di lubuk hatinya, dia tahu tindakannya benar."

Dalam video berdurasi tujuh menit yang diambil dari dasbor mobil polisi itu, nampak mobil mendekati tempat kejadian. Selama 5 menit 20 detik, McDonald terlihat berlari, kemudian berjalan menuju sejumlah mobil polisi. Ia lantas menjauh dari dua polisi yang menodongkan senjata, sebelum akhirnya berputar, jatuh ke tanah, dan terus dihujam peluru meski tak lagi sadar.

"Ini bukan kasus pembunuhan seperti yang Anda dengar di persidangan. Kami yakin akan berhasil memenangkan kasus ini." kata sang pengacara tegas.

Akhir yang tragis

Tetapi menurut Jaksa Alvarez, mengutip pengendara yang menyaksikan peristiwa itu, McDonald tidak melakukan apapun yang mengancam Van Dyke dan polisi lain sebelum ia ditembak. Van Dyke justru yang terus melangkah terhadap McDonald, baik saat korban menjauh maupun setelah tewas tak berdaya.

Publik tak pelak menyalahkan Van Dyke, termasuk sang walikota.

"Di Chicago, ada ribuan polisi yang melindungi masyarakat setiap hari dengan standar profesional tertinggi. Tetapi seperti yang dijelaskan Jaksa Wilayah, tindakan Van Dyke melanggar standar profesional dan moral yang mengikat kita bersama. Dia melawan hukum dan menempuh caranya sendiri. Sekarang nasibnya ada di tangan sistem peradilan," Walikota Emanuel menegaskan.

Peristiwa ini melukai warga Chicago, sampai-sampai Pastor Acree di Gereja Injil Agung St. John berkomentar, "Masyarakat merasa dikhianati."

Tidak sedikit pula dari mereka yang membandingkan kasus McDonald dengan kasus kematian warga kulit hitam serupa, misalnya Michael Brown di St. Louis dan Walter Scott dari South Carolina. Keduanya tewas di tangan polisi.

Meski keluarga McDonald tidak mengajukan gugatan apapun, Chicago sepakat memberi dana takziah sebesar US$5 juta (Rp67 miliar).

Ketika meninggal, McDonald masih merupakan tahanan kota, menurut juru bicara Departemen Layanan Anak-anak dan Keluarga Illinois.

Ia juga menambahkan bahwa McDonald diduga menjadi korban dua kasus penyiksaan di tahun 2000 dan 2003.

Remaja itu pernah mencecap pendidikan selama dua bulan di sekolah alternatif Sullivan House. Sang kepala sekolah, Thomas Gattuso, mengenalnya sebagai orang yang ramah, periang, cerewet, dan lucu.

"Kita menyaksikan akhir tragis dari hidup seorang pemuda yang juga tragis, yang berkali-kali dikhianati selama hidupnya," ujar Inspektur polisi McCarthy. (stu)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER