Jakarta, CNN Indonesia -- Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB bertajuk United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Conference of The Parties ke-21 (COP21) yang digelar di Paris, Perancis, sejak Senin (30/11) memunculkan berbagai pernyataan soal sejauh mana negara-negara dunia mengupayakan perubahan iklim global.
KTT Iklim tahun ini pun tak pelak mengingatkan kembali publik dunia akan janji mengurangi emisi karbondioksida melalui Protokol Kyoto, tonggak pergerakan melawan perubahan iklim ditorehkan saat COP3 digelar di Kyoto, Jepang, pada 1997.
Melalui Protokol Kyoto, setiap negara memasang target kontribusi mereka untuk menurunkan emisi gas buang agar suhu global tak naik lebih 2 derajat Celsius. Di bawah protokol ini, semua negara maju berkewajiban untuk mereduksi emisi gas melalui mekanisme Kyoto, meliputi perdagangan emisi dan mekanisme pembangunan bersih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara negara-negara berkembang diminta untuk ikut berpartisipasi untuk menekan laju gas emisi buang, meskipun tidak terikat dalam kesepakatan ini.
Namun, Protokol Kyoto tidak dapat diterapkan sebelum setidaknya 55 negara dunia meratifikasi kesepakatan ini, merepresentasikan 55 persen dari emisi dunia pada 1990. Protokol Kyoto akhirnya diterapkan pada 2005.
Negara industri dan sebagian kawasan di Eropa tengah yang sedang dalam masa transisi perekonomian sepakat untuk mereduksi gas emisi rumah hijau dalam rentang waktu 2008-2012 hingga 6-8 persen di bawah tingkat 1990.
Rentang waktu berakhir, namun target tak juga tercapai. KTT Iklim selalu diwarnai oleh perang kepentingan dan perdebatan alot soal berapa jumlah emisi yang harus dikurangi. Hingga pada COP18 di Qatar, tenggat waktu pengurangan emisi karbon diperpanjang hingga 2020.
Amerika SerikatAmerika Serikat, negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar kedua setelah China, tidak menyetujui Protokol Kyoto. Dalam kebijakan Kongres AS yang disahkan pada 1997, AS menolak menolak menjadi bagian dari Kyoto Protokol hingga perjanjian ini juga mengikat bagi negara-negara berkembang.
Namun, ketika Argentina yang merupakan tuan rumah COP4 pada 1998 menjadi negara berkembang pertama yang menunjukkan komitmen kuat terhadap Protokol Kyoto, AS akhirnya meratifikasi Protokol Kyoto pada 2008, di bawah pemerintahan Bill Clinton. Meski demikian, perjanjian ini harus diratifikasi oleh Senat sehingga kesepakatannya dapat mengikat.
Hingga kini, Protokol Kyoto tidak pernah dibawa ke ranah Senat As. Dalam Resolusi Byrd-Hagel yang dirilis pada 1997, Senat AS menilai Protokol Kyoto "akan benar-benar menghancurkan ekonomi AS."
Penolakan AS terhadap Protokol Kyoto ditegaskan secara terang-terangan oleh presiden AS saat itu, Gorge W. Bush. Pada Februari 2002, Bush mengumumkan kebijakan perubahan iklim AS yang menargetkan pengurangan intensitas gas rumah kaca sebanyak 18 persen dalam 10 tahun ke depan. Bush menilai kebijakan yang berlaku secara domestik ini dapat menjadi alternatif lain dari Protokol Kyoto.
Hingga kini, AS merupakan negara yang selalu hadir dalam KTT Iklim PBB yang diselenggarakan setiap tahun, tetapi tidak berpartisipasi dalam berbagai negosiasi yang berhubungan dengan Protokol Kyoto.
ChinaSementara, China tidak terikat dalam upaya pengurangan emisi karbon di bawah Protokol Kyoto karena China masih dianggap negara berkembang ketika kesepakatan ini dibuat pada 1997.
Namun kini, seiring dengan ekonomi China yang semakin pesat yang diperkirakan akan melampau Amerika Serikat dalam beberapa tahun mendatang, China juga merupakan negara penghasil gas rumah kaca terbesar.
Sebelumnya, China bersama dengan AS dan 23 pihak lainnya bersinergi membentuk kesepakatan politis sehingga banyak negara lain tak ingin berkomitmen kuat menjalankan Protokol Kyoto.
 Sementara, China tidak terikat dalam upaya pengurangan emisi karbon di bawah Protokol Kyoto karena China masih dianggap negara berkembang ketika kesepakatan ini dibuat pada 1997. (Reuters/Kim Kyung-Hoon) |
Meski demikian, China menujukkan itikad baiknya dengan menyerahkan rencananya memerangi perubahan iklim kepada UNFCCC sejak 30 Juni 2015. Dalam rencana yang disebut Intended Nationally Determined Contributions (INDC), China berjanji akan mengurangi emisi gas rumah kaca secara domestik sebanyak 60 hingga 65 persen dari level pada 2005.
Selain itu, China juga berjanji akan meningkatkan penggunaan energi non-fosil hingga 20 persen pada 2030, sebagai upaya untuk mengupayakan energi berseih sebagai sumber energi utama.
Namun hingga saat ini, batu bara masih menjadi sumber energi utama di China, dengan presentase hingga 66 persen dari keseluruhan sumber energi di negara tirai bambu ini.
Dalam dokumen yang diajukan ke PBB, China menyatakan hasil dari negosiasi di Paris "harus memperhitungkan pembedaan tanggung jawab sejarah", karena menilai negara-negara maju saat ratifikasi Kyoto Protokol telah menempatkan lebih banyak karbon ke atmosfer ketimbang negara-negara berkembang.
Dengan komitmen kuat yang ditunjukkan China, AS menjadi satu-satunya negara maju yang hingga kini masih menentang Protokol Kyoto.
Uni EropaGabungan negara-negara Uni Eropa merupakan penghasil emisi gas karbondioksida di terbesar ketiga di dunia, menurut baknk data EDGAR yang dirilis oleh Komisi Eropa dan Badan Peninjau Lingkungan Belanda pada 2014.
Menyusul partisipasi negara-negara Uni Eropa dalam KTT Iklim PBB dan Protokol Kyoto, Uni Eropa membentuk skema perdagangan emisi gas karbondioksida, yang disebut European Union Emissions Trading System, atau EU ETS. Pertama kali diluncurkan pada 2005, skema perdagangan emisi gas Uni Eropa telah diberlakukan di 11 ribu pabrik, stasiun pembangkit listrik, dan instalasi lainnya dengan menghasilkan energi panas bersih mencapai 20 megawatt (MW) di 31 negara UE.
Menurut Komisi Eropa, pada 2010 jumlah emisi gas rumah kaca dari beberapa instalasi penghasil emisi terbesar di Uni Eropa rata-rata menurut lebih dari 17.000 ton per instalasi, jika dibandingkan dengan tahun 2005. Persentasi penurunan diperkirakan mencapai delapan persen sejak 2005.
Meski demikian, EU ETS dinilai kurang efektif. Menurut lembaga penelitian investasi UBS, skema perdagangan emisi gas ini menghabiskan biaya sebesar US$287 miliar pada 2011 namun tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap volume keseluruhan emisi karbon dioksida di Uni Eropa.
Padahal, dengan biaya yang begitu besarnya, UBS memperkirakan Uni Eropa dapat membantu mengurangi emisi gas karbon dioksida jika dilakukan dengan cara yang lebih tepat, seperti memberbarui pembangkit listrik.
(ama/stu)