Jakarta, CNN Indonesia -- Di kala Indonesia kewalahan memadamkan api yang melalap hutan, pemerintahan Joko Widodo justru mengumumkan akan mengajukan target pengurangan emisi hingga 41 persen pada 2030 dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim gagasan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 30 November mendatang.
Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi, Mukri Priatna, mengaku bingung mengenai target pemerintah ini.
"Mereka dapat indikator dari mana dalam menentukan itu? Pencapaian sekarang saja, saya tidak yakin dapat mencapai target 29 persen pada 2020 nanti," ujar Mukri kepada CNN Indonesia, Sabtu (28/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebingungan Mukri ini bukan tanpa alasan. Menurutnya, Indonesia saja kini sedang berada di posisi sepuluh besar penyumbang emisi tertinggi di dunia.
Bahkan, emisi dari kebakaran hutan di Indonesia berdasarkan data World Resources Institute (WRI) telah menyamai AS.
Keadaan semakin parah ketika kebakaran lahan gambut dan hutan pada tahun ini merembet luas akibat embusan angin El Nino.
"Kebakaran hutan di Indonesia itu sudah lama. Semua itu karena korupsi pemerintah dalam memberikan izin pembukaan lahan ke perusahaan. Tata guna hutan di Indonesia itu tidak efisien. Terlalu obral sumber daya alam," kata Mukri.
Lahan gambut merupakan gudang cadangan karbondioksida yang kebanyakan berada di tanah jenuh sehingga tidak bisa menyimpan air di porinya. Pembakaran gambut dianggap cara paling murah untuk membuka lahan untuk perkebunan, ketimbang menggunakan alat berat.
Jika dibakar, lahan ini melepaskan karbondioksida ke udara, menyebabkan penumpukan di atmosfer, berujung pada terciptanya pemanasan global.
Pembakaran hutan oleh perusahaan inilah yang disinyalir merupakan penyebab semakin tingginya emisi gas buang Indonesia.
"KPK sudah kasih data ke pemerintah daerah dan pusat mengenai korupsi di sektor sumber daya alam. Seharusnya itu semua menjadi rujukan untuk mengambil kebijakan," kata Mukri.
Mukri juga mengatakan bahwa hingga kini pemerintah Indonesia belum berhasil menangani masalah pengurangan kendaraan yang tentu akan berpengaruh ke angka emisi gas buang.
"Di Medan, Jakarta, Surabaya, Ujung Pandang, dan Palembang, itu sekarang ada 2,5 juta kendaraan. Sudah berapa itu emisinya dalam satu hari? Di perkotaan, pohon yang seharusnya jadi paru-paru malah dikorbankan untuk kendaraan bermotor. Itu paradoks," tutur Mukri.
Melihat segala pekerjaan pemerintah Indonesia yang belum tuntas, Mukri pesimistis target pengurangan emisi gas buang hingga 29 persen pada 2020 dapat tercapai.
"Jika korupsi tidak diberantas, moratorium pembukaan lahan tidak jalan, kendaraan bertambah, lahan hijau berkurang, mimpi 29 persen tahun 2020 tidak akan tercapai," katanya.
Jika target 29 persen saja sulit tercapai, Mukri semakin ragu dengan sikap pemerintah Indonesia yang mengatakan akan mengajukan target pengurangan emisi gas buang hingga 41 persen pada 2030.
"Saya apresiasi kalau memang upaya pemerintah memang benar bisa tercapai. Namun, saya waspada, jangan-jangan pemerintah pasang target itu hanya sekadar tipu muslihat agar orang senang. Waspada, jangan-jangan pemerintah hanya PHP alias pemberi harapan palsu," katanya.
(stu)