Jakarta, CNN Indonesia -- Perang saudara berkepanjangan di Suriah telah membuat negara ini bertranformasi menjadi sarang militan generasi baru. Menurut pengamatan seorang mantan kepala mata-mata Inggris, dalam 18 bulan terakhir saja, Suriah kedatangan 31 ribu pejuang asing dari berbagai penjuru dunia.
Mayoritas pejuang asing bergabung dengan kelompok militan seperti ISIS yang menggunakan interpretasi ekstrem untuk membenarkan serangan terhadap musuh dan memaksakan pemerintahan yang represif ketika merebut sejumlah daerah di Suriah dan Irak.
"ISIS telah mencapai keberhasilan yang belum pernah dicapai oleh kelompok teroris lain yang konvensional, seperti al-Qaeda," kata Richard Barrett, seorang mantan kepala kontra-terorisme di Secret Intelligence Service Inggris, atau yang dikenal sebagai MI6.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jumlah militan asing yang bergabung ISIS di Suriah dan Irak telah bertambah dua kali lipat, disamping besarnya upaya untuk mencegah mereka melakukan hal itu," Barrett, yang kini menjabat sebagai wakil presiden senior The Soufan Group, sebuah lembaga konsultan intelijen di New York.
Kelompok militan ISIS mengaku bertanggung jawab atas serangan pada 13 November di sejumlah tempat di jantung kota Paris yang menewaskan 130 orang. ISIS juga mengklaim berada di balik jatuhnya pesawat Rusia di wilayah Sinai, Mesir yang menewaskan 224 orang. ISIS mengancam akan meluncurkan lebih banyak serang teror di Rusia dan negara-negara Barat.
Sejumah teror yang diluncurkan ISIS mendorong upaya intensif berupa serangan udara dari koalisi internasional pimpinan AS, yang meliputi Inggris dan Perancis. Rusia, yang mendukung Presiden Suriah Bashar al Assad, juga turut menggempur sejumlah markas ISIS dan berbagai kelompok pemberontak anti-Assad di Suriah.
Meski demikian, Barrett menyatakan bahwa perlawanan terhadap ISIS tidak dapat dilakukan dengan hanya menjatuhkan bom saja ke markas mereka.
"Kami harus menemukan cara yang lebih baik untuk mengatasi daya tarik ISIS. Ini bukan tentang pembunuhan, kekacauan atau pun perang, ini tentang cara kita melihat satu sama lain," ujar Barrett.
Barrett mencontohkan viralnya tagar #YouAintNoMuslimBruv di Twitter untuk memberi dukungan terhadap Muslim usai serangan sebuah stasiun kereta bawah tanah di London bisa jadi perlawanan yang lebih efektif terhadap ideologi ISIS ketimbang mengebom markas mereka di Irak dan Suriah.
"Teguran Leytonstone yang menyatakan #YouAintNoMuslimBruv jauh lebih merusak ISIS ketimbang menjatuhkan bom di Raqqa," kata Barrett, yang menjabat sebagai pemimpin tim PBB yang memonitor pergerakan al-Qaidah dan Taliban periode tahun 2004 dan 2013.
Barrett memperkirakan sekitar 27 ribu hingga 31 ribu militan datang ke Suriah dan Irak untuk bergabung dengan kelompok militan. Jumlah ini merupakan peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan perkiraan Barrett yang dipublikasikan oleh The Soufan Grup yang menyatakan sekitar 12 ribu militan asing berangkat ke Suriah hingga Juni 2014 lalu.
Jumlah militan asing terbesar berasal dari Tunisia, Arab Saudi dan Uni Soviet. Sementara, sekitar 5.000 militan asing lainnya berasal dari negara-negara Uni Eropa. Jumlah militan asing dari Timur Tengah, Afrika Utara dan Uni Soviet juga semakin meningkat tajam.
Diperkirakan sekitar 6.000 pejuang asing berasal dari Tunisia, 2.500 lainnnya berasal dari Arab Saudi dan 2.400 lainnya dari Rusia. Dari sekitar 5.000 militan asing asal Uni Eropa yang direkrut di Suriah, sekitar 3.700 di antaranya berasal dari empat negara, yaitu Perancis, Inggris, Jerman dan Belgia.
(ama)