Arshin Moghaddam
Arshin Moghaddam
Arshin Adib-Moghaddam adalah profesor Pemikiran Global dan Filosofi Komparatif, dan Kepala Pusat Studi Iran di Institut Timur Tengah London, SOAS, Universitas London.

Cara Meredam Krisis Iran-Saudi

Arshin Moghaddam | CNN Indonesia
Rabu, 06 Jan 2016 13:55 WIB
Hubungan Arab Saudi-Iran kian terpuruk dan diperkirakan berpengaruh terhadap stabilitas kawasan. Profesor studi Iran mengurai bagaimana cara meredam krisis ini.
Pendukung ulama Syiah Nimr al-Nimr di Baghdad, Irak, melakukan protes pada 4 Januari, pascaeksekusi yang dilakukan oleh Saudi. (Reuters/Thaier Al-Sudani)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Opini dalam tulisan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis seperti dimuat di CNN.

Eksekusi ulama Syiah, Syeikh Nimr al-Nimr, di Arab Saudi akhir pekan lalu memicu krisis diplomatik yang sudah dapat diprediksi.

Iran langsung mengecam keputusan tersebut, Kedutaan Besar Saudi di Teheran diserang oleh demonstran yang marah, dan Arab Saudi kemudian memutus tali diplomatik dengan negara itu. Pada Senin, Bahrain, Sudan, dan Uni Emirat Arab, mengikuti jejaknya. Di samping perang pernyataan, penting untuk mengingat bahwa krisis ini hanya merupakan bagian kecil dari percaturan geopolitik yang lebih luas antara Arab Saudi dan Iran. Dan ini juga mungkin membutuhkan bantuan pihak luar untuk mencegah eskalasi lebih lanjut.
Arab Saudi yang mayoritas Sunni seharusnya sudah mengetahui bahwa eksekusi seorang ulama Syiah senior akan memperburuk masalah di kawasan, terutama dengan Iran yang didominasi Syiah. Di atas semuanya, kedua negara mengklaim sebagai pemimpin di kawasan dan sekitarnya. Keduanya menggunakan konflik sektarian sebagai alat untuk mencapai tujuan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun kenyataannya adalah perkembangan terbaru ini lebih mengenai politik kekuatan ketimbang perang primordial antara Sunni dan Syiah.

Ingat, secara historis, Iran dan Arab Saudi memiliki hubungan yang harmonis, tentu karena keduanya menyadari dan bertindak berdasarkan kepentingan nasional mereka--kedua negara tidak buta secara ideologi, dan dikendalikan oleh kepentingan mereka ketimbang emosi. Contohnya, Arab Saudi dengan lantang menentang Ikhwanul Muslimin, yang berpura-pura menjadi organisasi politik "Sunni" terbesar di dunia Arab. Sementara itu, pemimpin Iran sangat jarang bicara mengenai supremasi Syiah karena sebagai minoritas di dunia Muslim, strategi tersebut akan membatasi pilihan kebijakan luar negeri mereka.

Tetap saja, invansi Amerika Serikat terhadap Irak pada 2003 mengubah pandangan Arab Saudi secara fundamental, karena untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, Iran mulai memupuk hubungan persahabatan dengan Baghdad. Iran sudah memiliki hubungan baik dengan Suriah dan akses ke Libanon melalui relasi kuatnya ke Hizbullah. Jadi penghubung Teheran dan Baghdad di Teluk Persia ke Damaskus dan Beirut di Levant kemungkinan tidak dapat diterima oleh Arab Saudi.
Saudi semakin frustrasi melihat fakta bahwa intervensi militer mereka di Yaman untuk menggempur pemberontak Houthi gagal membawa dampak serius, keuntungan jangka panjang, sementara pengumuman terbaru mengenai Aliansi Islami Melawan Teror--jelas merupakan upaya lain untuk memarjinalkan Iran--berakhir datar.

Ada pula kesepakatan nuklir antara Iran dan kekuatan Barat, yang dipantau secara skeptis di Riyadh. Hingga belakangan ini, Iran selalu menjadi hantu dalam krisis regional. Namun dengan saluran diplomatik yang kini mulai terbuka antara Teheran dan Washington, Arab Saudi nampaknya akan kehilangan peran hampir eksklusif sebagai rekan dialog regional. Lebih jauh, Iran akan berada di posisi lebih baik untuk mengimplementasikan kebijakan luar negeri mereka di institusi-institusi internasional. Ditambah lagi, dengan lebih banyak sumber daya dalam bidang pembuangan sebagai hasil kesepakatan nuklir, Iran tampaknya akan memainkan peran lebih penting di kawasan dan sekitarnya.

Semua ini mengindikasikan bahwa Teluk Persia kemungkinan akan menyambut demi membangun kembali apa yang dikatakan oleh mantan Presiden AS, Richard Nixon, sebagai kebijakan "dua pilar" pada era 1970-an, yang bergantung pada Arab Saudi dan Raja Iran kala itu, Mohammad Reza Shah Pahlavi, untuk menjaga keamanan regional.

Tentu saja waktu sudah berubah, dan Iran dan Arab Saudi akan menghindari bergantung pada Washington. Namun kenyataannya adalah bahwa krisis diplomatik ini tidak akan dapat diselesaikan oleh Teheran dan Riyadh sendiri--kemungkinan akan memerlukan campur tangan dari Amerika Serikat dan Eropa. Dalam ranah praktik itu dapat berarti membantu menciptakan sebuah Organisasi untuk Perdamaian dan Kerja Sama di Asia Barat, sejalan dengan OSCE, yang akan membantu mengamankan Eropa yang sudah menghadapi dua perang dunia.

Akhirnya, ketika negara-negara di kawasan mulai memihak, jelas bahwa solusi diplomasi kreatif sangat dibutuhkan untuk meredam panas dari situasi yang mudah terbakar ini. Jika semua yang terlibat serius ingin menjaga stabilitas kawasan, solusinya lebih pada perlunya campur tangan AS dan Eropa. (han/stu)
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER