Jakarta, CNN Indonesia --
"Pakai rompi antipelurumu. Bersiaga. Perhatikan sekitarmu dan tetap fokus. Penembak jitu bisa ada di mana saja," ujar Marconi Navales kepada reporter
CNN Indonesia pertengahan Desember lalu.
Percakapan itu terjadi dalam perjalanan untuk menembus salah satu kamp Ansar Khalifah Filipina (AKP), kelompok ekstremis penganut paham ISIS, di Palimbang, Filipina Selatan, tepatnya di Barangay Butril. Mark, begitu Marconi biasa dipanggil, adalah wartawan senior Filipina yang menemani
CNN Indonesia menuju kamp ISIS itu.
Dua pekan sebelumnya, Marinir yang merupakan bagian dari Angkatan Laut Filipina melancarkan operasi di kamp tersebut dan menewaskan 14 simpatisan, termasuk
satu pelatih Indonesia dari Mujahidin Indonesia Timur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kini, di depan markas AL Filipina sudah berjajar truk militer yang akan membuka jalan bagi mobil sewaan
CNN Indonesia menuju Barangay Butril. Menyusuri jalan aspal di tepi laut biru Palimbang, dua truk akhirnya berbelok ke kiri, ke arah jalan sempit yang membelah hutan penuh pohon kelapa.
"Ini bukan jalan ke Barangay Butril," kata Mark.
Barisan truk tersebut kemudian berhenti, menjemput satu tank yang akan mengawal rombongan konvoi. Di dalam mobil, tak ada yang tahu ke mana arah konvoi ini.
 Perjalanan menuju kamp Angkatan Laut di Palimbang, Filipina. (CNN Indonesia/Hanna Azarya Samosir) |
Truk dan tank kembali memimpin rombongan, menggilas tanah desa yang tidak rata. Para anggota AL pemegang senapan AK-47 sesekali melemparkan senyum dan melambaikan tangan ke arah anak-anak yang dilewati.
Jalan kian sempit, desa semakin sepi. Hingga akhirnya mobil membelah sungai deras, naik menuju bukit.
Hanya ada rumah-rumah kayu tak berpenghuni dan kuda-kuda yang ditinggal oleh sang pemilik. Terus menanjak hingga akhirnya sampai di puncak.
Di atas bukit tanah tersebut, berdiri kamp milik AL yang dikelilingi tank dan truk. "Selamat siang. Selamat datang di Barangay Napnapan," ujar seorang komandan AL yang enggan diungkap identitasnya.
Benar saja, ini bukan kamp ISIS yang tadinya dituju. Menurut sang komandan, kamp tersebut kini sedang dalam kondisi sangat berbahaya. Tak sembarang orang diizinkan masuk ke sana.
"Di sini juga ada cerita. Agustus lalu, rumah-rumah itu dibakar saat terjadi rido (perang antarklan) di antara dua kelompok anggota MILF (Moro Islamic Liberation Front)," katanya sambil menunjuk ke arah rumah tak berdinding di dekat bukit kecil.
 Suasana Barangay Napnapan, Palimbang, usai rido antara dua anggota MILF. (CNN Indonesia/Hanna Azarya Samosir) |
Menurut laporan Interaksyon, rido tersebut bermula ketika dua kerabat dari Komandan Basis 105 MILF, Bonde Binago, ditembak mati oleh beberapa anggota MILF pimpinan Komandan MILF Basis 104, Bryan Andi. Tak tinggal diam, kelompok Binago balas dendam.
Mereka menyerang kamp Komandan Andi di Barangay Napnapan. Baku tembak hebat terjadi hingga menewaskan tujuh orang dari kedua belah pihak.
Perang merembet hingga 26 rumah umat Kristen dan 1 tempat tinggal Muslim dibakar. Satu kapel di atas bukit ikut menjadi sasaran kobaran api dan emosi. Patung Yesus Kristus yang ada di dalam dipenggal bagian kakinya menjadi saksi bisu. Hingga kini, belum diketahui jelas motif dari pembakaran tersebut.
 Patung Yesus dirusak saat rido di Palimbang (CNN Indonesia/Hanna Azarya Samosir) |
Sekitar 1.000 warga pun melarikan diri menuju desa terdekat. "Kami hadir di sini untuk memberikan rasa aman agar warga mau kembali. Walaupun sulit karena semua masih merasa takut kelompok itu akan kembali," kata komandan itu sambil merapikan posisi senjata di sekitarnya.
Kondisi di Palimbang secara keseluruhan memang cukup mencekam. Selain rido, masih ada kantong-kantong ISIS yang dianggap cukup mengancam.
Namun setelah santap siang, kondisi di sekitar dianggap cukup aman.
CNN Indonesia diizinkan meninggalkan kamp AL tanpa pendampingan truk atau tank.
Bahkan saat keluar dari daearah kamp, terlihat seorang bocah laki-laki berjalan telanjang kaki menuju markas tempat berkumpulnya para pasukan AL tersebut.
Ketika menyusuri desa yang sunyi senyap, terlihat satu ibu berdaster menjaga warung di depan rumahnya. Tak ada orang di sekitarnya, hanya seekor kuda yang siap menarik gerobak penuh rumput hijau.
Seorang bapak berkaos putih dan celana pendek tiba-tiba keluar dari rumah dengan tatapan tajam. "Saya Roy Roder, Kepala Barangay Napnapan," katanya masih dengan memicingkan mata.
Duduk di kursi kayu di depan rumahnya, Roder akhirnya bercerita bahwa ia sengaja kembali ke desa itu agar masyarakat lain mengikuti jejaknya.
"Saya diimbau oleh AL agar kembali dan membawa semua penduduk. Saya mengikuti imbauan itu karena pemerintah meminta saya," ucapnya sambil sesekali menggaruk dahinya.
Ia akhirnya menghela napas dan menceritakan betapa sulitnya meyakinkan warga untuk kembali ke rumahnya.
 Roy Roder, Kepala Barangay Napnapan, menceritakan kisah rido yang terjadi di desanya. (CNN Indonesia/Hanna Azarya Samosir) |
"Sebenarnya, pada 19 November sudah ada perjanjian damai dan gencatan senjata antara AL dengan Komandan Bundi (Binango). AL juga siap melakukan operasi pembersihan pada 2 Desember," tutur Roder.
Dalam surat perjanjian yang dilihat CNN Indonesia, tertera bahwa pasukan Komandan Mike 'Bundi' Binango akan dipindahkan keluar dari Barangay Napnapan dan semua atribut kelompok harus dicabut sebelum 30 November 2015. Pemakaian atribut atau seragam pasukan bersenjata MILF (BIAF) di tengah komunitas Barangay Napnapan juga tak diizinkan.
Setelah AL Filipina melaksanakan operasi pembersihan pada 2 Desember, diharapkan warga sudah dapat kembali dengan rasa aman tanggal 5 Desember.
Belum pulih trauma warga, pada 7 Desember sekelompok orang tak dikenal menyerang desa, terutama rumah Roder, dan melukai sepupu istrinya sehingga harus dilarikan ke kamp AL karena pendarahan parah di kakinya.
"Kami tidak tahu kelompok mana yang melakukan penyerangan, tapi yang jelas sudah ada perjanjian gencatan senjata di sini," kata Roder.
Tertunduk, akhirnya Roder mengakui bahwa sebenarnya ia juga takut. "Terkadang kami takut, tapi kami berusaha sekuat mungkin untuk kembali karena ini adalah tempat kami. Mungkin seseorang akan membantu kami untuk memulihkan tempat ini. Kami berharap semuanya akan baik-baik saja," katanya.
Apa daya, sebagai seorang kepala barangay harus mempersiapkan keamanan di desanya sambil menunggu warganya kembali.
Sementara itu di luar desa tersebut, di tengah kota pinggir pantai, seorang warga Kristen dari Barangay Napnapan yang sedang mengungsi, Jane Alfones, masih merasa takut untuk kembali.
Di dalam benak Alfones, masih tergambar jelas kobaran api yang melalap rumahnya sekitar pukul 07.00 pada Agustus lalu.
"Ada baku tembak dan tiba-tiba mereka membakar rumah saya. Saya kabur dan tidak kembali lagi ke sana sampai sekarang," tutur Jane sembari menyeka matanya.
 Warga Kristen yang menjadi korban rido di Barangay Napnapan, Jane Alfones, masih merasa takut kembali ke desanya. (CNN Indonesia/Hanna Azarya Samosir) |
Janes sendiri mengaku sangat ingin kembali ke rumahnya. Walaupun di desanya Janes akan tetap hidup dalam kemiskinan, setidaknya ia merasa berada di rumah.
"Kami sangat ingin kembali ke sana karena apapun masalahnya di sana, kami bisa bertahan. Kami tidak bisa bertahan selamanya di sini," katanya dengan dahi mengernyit.
Pemerintah dan beberapa organisasi non-pemerintah juga sudah mendorong Janes untuk segera kembali ke rumahnya. Namun hingga kini, rumahnya saja belum diperbaiki.
"Kami adalah orang paling miskin di tengah orang miskin. Kami bahkan sangat sulit untuk membeli alat pancing. Mungkin dengan bantuan pemerintah dan saudara kami, rumah itu bisa diperbaiki," ucap Janes, kini dengan sedikit senyum di bibirnya.
Harapan masih ada, apalagi dengan musim panen yang sebentar lagi tiba. Janes dapat membantu para tuan tanah memanen hasil tani. Setidaknya itu cukup untuk makan satu hari, katanya.
Tak lama senyum itu mengembang, Janes kembali bimbang. Tiba-tiba ia teringat, tempat memanen sangat jauh dari kamp AL dan terlalu dekat dengan kelompok bersenjata berada.
"Bagaimana jika saat kami sedang memanen, mereka menyerang?" ucap Janes lirih.
Tak punya pilihan, Janes hanya bisa menaruh harapnya pada pemerintah.
"Saya tidak peduli rido yang ada. Kami yang jadi korban. Saya harap pemerintah dapat menyingkirkan kelompok ini dari desa kami karena kami saja sebenarnya sudah membutuhkan bantuan tanpa kehadiran mereka. Kini, ancaman dan beban kami bertambah," katanya.
Keluhan mengenai pertikaian yang kadang terjadi di antara anggota MILF sebenarnya sudah lama masuk ke kuping para petinggi kelompok separatis yang kini sedang melakukan perundingan damai dengan pemerintah Filipina ini.
Ketua MILF, Al Haj Ebrahim Murad, pun mengakui hal tersebut. "Ya, ini memang satu masalah besar yang kami hadapi. Tidak hanya MILF, tapi juga semua area, ada banyak rido, konflik," ujar Murad sambil menghela napas saat ditemui
CNN Indonesia di kamp MILF di Darapanan, Maguindanao.
 Ketua Moro Islamic Liberation Front (MILF), Al-Hajj Murad Ebrahim, menjelaskan mengenai perkembangan terakhir perjanjian damai dengan pemerintah Filipina ketika ditemui CNN Indonesia di markas Kamp Darapanan milik MILF di Maguindanao, Filipina, pada Desember 2015. (Dok. Marconi Navales) |
Merujuk data Asian Foundation, pada periode 1930-an hingga 2005 ada 1.266 kasus rido dan setidaknya sudah merenggut 5.500 nyawa. Diperkirakan, 127 kasus rido baru bertambah setiap tahunnya.
Menurut Murad, rido terus terjadi karena pemerintah tak memiliki sistem hukum yang jelas untuk memberikan efek jera.
"Tidak ada sistem hukum yang jelas dalam pemerintahan ini, tidak bisa menerapkan sistem hukum efektif untuk mengklaim apa yang benar bagi mereka. Masyarakat tidak melihat keadilan dari pemerintah. Mereka mengadakan sendiri apa yang mereka anggap sebagai keadilan bagi mereka," papar Murad.
Dalam buku bertajuk "Rido: Clan Feuding and Conflict Management in Mindanao", Wilfredo M. Torres III dan timnya juga mengatakan bahwa rido di Filipina sebenarnya memiliki akar yang sama dengan perang antarkeluarga di belahan dunia lain.
Pembunuhan balas dendam ini biasanya terjadi dalam kelompok sosial skala kecil. Dalam lingkungan tersebut, kontrol negara dan otoritas sangat kurang sehingga sikap keluarga dan kerabat menjadi sumber kebijakan utama.
"Di dalam lingkungan di mana negara lemah, pembuatan keputusan menjadi lebih tak terpusat dan ketentuan keamanan didasarkan pada pertolongan diri sendiri," tulis Torres III.
Di samping masalah rido yang terus mengikat, tali masalah di Palimbang bertambah panjang dengan kehadiran kelompok teror AKP yang mendeklarasikan diri sebagai perpanjangan tangan ISIS di Asia Tenggara.
"Ada banyak masalah di sini. Kami harap dengan tercapainya perdamaian MILF dengan pemerintah dan dengan hukum yang disetujui, Hukum Dasar Bangsamoro (BBL), semua komponennya dapat berfungsi dengan baik sehingga Mindanao dan khususnya Palimbang dapat dibenahi," tutur Roder.
(stu)