Jakarta, CNN Indonesia --
Jarum jam menunjukkan pukul 10.00 di Lanao Del Sur, Filipina Selatan. Pendar matahari pagi di pantai biru mengiringi perjalanan menuju salah satu rumah di ujung kelok jalan.
Di tengah deretan rumah kayu, bangunan tersebut terlihat kokoh dengan tumpukan bata. Seorang pria membawa senapan laras panjang menyapa.
"Selamat datang. Tak peduli rumah kami sederhana, yang penting kami punya senjata," ujar Dods Suraik sambil mempersilakan masuk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di pekarangan rumah, telah berkumpul sanak saudara Dods. Ketika para ibu sibuk membuat dodol, bapak-bapak duduk santai sambil mengobrol. Di pinggang mereka, tersembul pistol. Seakan tak peduli, anak-anak tetap bermain bergerombol.
Di tengah terik matahari, mereka berkumpul untuk mengenang saudara mereka yang pekan lalu meninggal karena komplikasi penyakit jantung dan hati.
"Kami bersyukur kali ini, saudara kami meninggal karena penyakit, bukan perang antarkeluarga," ucap Napoleon Inog, sang kepala keluarga yang juga merupakan Kapten di Desa Kapatagan, Lanao Del Sur.
Meski tersenyum, Napoleon lantas bercerita bahwa sudah ada dua anggota keluarganya yang tewas akibat perang antarklan alias "rido" di desanya.
Perang antarklan untuk mempertahankan martabat keluarga ini memang biasa terjadi di Mindanao. Merujuk data Asian Foundation, pada periode 1930-an hingga 2005 terlacak 1.266 kasus rido di Mindanao yang merenggut lebih dari 5.500 jiwa. Diperkirakan, 127 kasus rido baru bertambah setiap tahunnya.
Lanao del Sur sendiri merupakan penyumbang rido terbanyak. Dari keseluruhan kasus rido, 377 di antaranya terjadi di Lanao del Sur.
Ada banyak sumbu masalah yang dapat memantik api perang antarkeluarga di Mindanao, termasuk politik, perebutan lahan, hingga perdagangan narkoba. Namun dalam kasus keluarga Inog, masalahnya berbeda.
"Satu saudara kami menjadi penengah rido antara dua keluarga karena perebutan lahan. Namun tiba-tiba, saudara kami itu justru dibunuh juga," tutur Guiling Inog, kerabat dari Napoleon yang pernah kini menjabat sebagai Kapten Barangay Bureau.
Kasan ingat betul, hari itu 24 Desember 2010 pagi. Keluarganya yang geram tak bisa tinggal diam.
"Kami terima berita pagi hari, sorenya kami membunuh tiga orang dari Keluarga Matanog. Setahun kemudian, kami membunuh satu orang lagi," katanya sambil tersenyum.
Kini, kata Guiling, Keluarga Matanog sedang mempersiapkan aksi balas dendam. Menurut selentingan yang sampai ke kuping Guiling, keluarga lawannya itu bahkan sudah menyewa satu pembunuh berdarah dingin.
Kasan pun sudah mewanti-wanti anggota keluarganya untuk selalu waspada. "Hati-hati karena mereka berencana balas dendam. Saya menyarankan saudara saya, ketika kalian melihat musuh, bunuh mereka. Jangan tunggu mereka membunuh, kamu harus lebih dulu membunuhnya," ucap Kasan sambil mengacungkan telunjuknya.
Terus berjaga, Keluarga Inog sudah terbiasa dengan senjata di dalam rumahnya. Mereka harus siap kapan pun musuh menyerang.
 Suasana acara peringatan meninggalnya salah satu kerabat dari Keluarga Inog, klan yang terlibat perang dengan Keluarga Matanog di Lanao del Sur, Filipina. (CNN Indonesia/Hanna Azarya Samosir) |
"Kami mempersiapkan senjata untuk perlindungan, bukan untuk melawan pemerintah. Senjata juga merupakan lambang harga diri dan martabat keluarga. Jika punya senjata dan emas, Anda lebih dihargai," tutur Kasan.
Namun, Kasan mengaku mulai jengah dengan anggapan tersebut. Pasalnya, senjata yang selalu dianggap sebagai lambang martabat kini membuat mereka hidup melarat.
"Sebenarnya, kami ingin perang ini berakhir, Kami ingin lebih membangun. Jual senjata dan lakukan pembangunan bisnis. Uangnya digunakan untuk bisnis. Kami miskin karena kami terus membeli amunisi," ucap Kasan sambil mengernyitkan dahi, memperjelas kerut di wajah sayunya.
Menyambut pernyataan Kasan, Guiling juga mengatakan bahwa rido juga cukup menghambat pembangunan di Barangay Kapatagan. Kesimpulan tersebut ia refleksikan dari pengalamannya selama sembilan tahun menjabat sebagai anggota konselor Kota Kapatagan dan enam tahun menjadi Kapten Barangay Matimus.
Menurut Guiling, uang yang seharusnya digunakan untuk pembangunan, terpaksa dikucurkan demi membayar "uang darah" guna menyelesaikan rido.
Terminologi uang darah biasanya muncul dalam upaya rekonsiliasi yang ditengahi oleh pemerintah lokal. Untuk mendapatkan maaf, keluarga yang membunuh diminta memberikan uang sekitar 150 ribu Peso guna menebus nyawa lawannya.
Hidup miskin, kebanyakan keluarga tak dapat membayar uang darah. Meskipun sudah menggalang dana dari warga sekitar, banyak keluarga tetap tak bisa memenuhi jumlah yang harus diberikan.
"Akhirnya, pemerintah mengorbankan uang desa untuk menebus itu. Saya rasa, ini merupakan salah satu alasan mengapa pembangunan di desa kami sangat terhambat," kata Guiling.
Mengetahui dampak uang darah bagi pembangunan daerah, Guiling mengaku sangat ingin berdamai dengan Keluarga Matanog. Syaratnya, tak usah ada uang darah. Guiling menganggap, masalah rido seharusnya diselesaikan dari akarnya.
"Rido itu seperti pohon. Kami harus mencari akar masalah dari rido dan itu akan tumbuh. Jika ingin menghentikan rido, hentikan dari akar. Ketika akar sudah mati, pohon juga akan mati. Jangan sentuh dahan, sentuh akarnya," tutur Guiling.
Menurut Guiling, masalah mendasar dari rido sebenarnya adalah pemerintah yang tidak bisa menyediakan komponen hukum efektif.
"Mereka akhirnya melakukan pengadilan sendiri dengan membunuh," ucapnya.
Dalam buku bertajuk Rido: Clan Feuding and Conflict Management in Mindanao, Wilfredo M. Torres III dan timnya juga mengatakan bahwa penyebab rido di Filipina sebenarnya memiliki pola yang sama dengan perang antarkeluarga di belahan dunia lain.
Pembunuhan balas dendam ini biasanya terjadi dalam kelompok sosial skala kecil. Dalam lingkungan tersebut, kontrol negara dan otoritas sangat kurang sehingga sikap keluarga dan kerabat menjadi sumber kebijakan utama.
"Di dalam lingkungan di mana negara lemah, pembuatan keputusan menjadi lebih tak terpusat dan ketentuan keamanan didasarkan pada pertolongan diri sendiri," tulis Torres III.
Napoleon pun mengangguk setuju. "Kami mau berhenti, tidak usah pakai negosiasi atau pembicaraan. Hentikan saja saling bunuh ini. Tidak usah ada yang datang ke sini karena kalau kami lihat wajah mereka, hati kami mendidih. Jadi, hentikan saja dan semua akan berakhir," katanya.
Sementara belum ada solusi, Napoleon ingin semuanya berhenti. Menurutnya, salah satu solusi jangka pendeknya adalah dengan saling menjaga harga diri.
"Kami mau berhenti, tidak usah pakai negosiasi atau pembicaraan. Hentikan saja saling bunuh ini. Tidak usah ada yang datang ke sini karena kalau kami lihat wajah mereka, hati kami mendidih. Jadi, hentikan saja dan semua akan berakhir," katanya.
(stu/stu)