Berhasil Kabur dari ISIS, Bocah 12 Tahun Merasa Hidup Kembali

Hanna Azarya Samosir | CNN Indonesia
Selasa, 12 Jan 2016 19:29 WIB
Anak berusia 12 tahun ini dianggap sangat beruntung. Ia berhasil kabur dari cengkeraman ISIS yang melatihnya untuk menjadi pengebom bunuh diri.
Ilustrasi ISIS. (CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani)
Jakarta, CNN Indonesia -- Anak berusia 12 tahun ini dianggap sangat beruntung. Ia berhasil kabur dari cengkeraman ISIS yang melatihnya untuk menjadi pengebom bunuh diri.

Kini, ia sudah berkumpul dengan ibunya di kamp pengungsi Esyan di Kurdistan, rumah bagi hampir 15 ribu Yazidi yang kabur dari ISIS. Ia kemudian menuturkan kisahnya kepada CNN dengan nama samaran Nasir.

"Ada 60 orang. Waktu paling menakutkan bagi kami adalah waktu serangan udara datang," kata Nasir.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat itulah, kata Nasir, para pasukan ISIS akan menggiring mereka ke dalam terowongan untuk berlindung.

"Mereka berkata bahwa orang Amerika, orang-orang yang tidak percaya, mencoba membunuh kami, tapi mereka mencintai kami. Mereka akan menjaga kami lebih daripada orang tua kami. Ketika mereka melatih kami, mereka berkata bahwa orang tua kami bukan orang yang percaya dan tugas utama kami adalah membunuh mereka," tutur Nasir.

Menangis diam-diam

Indoktrinasi ini ditanamkan di kepala setiap anak dalam kamp tersebut, tak terkecuali bocah paling muda dalam kelompok Nasir yang baru berusia 5 tahun.

"Kami tidak diperbolehkan menangis, tapi saya selalu teringat ibu saya. Memikirkan bagaimana ia khawatir dan saya akan mencoba menangis tanpa suara. Ketika kami kabur dan saya melihat ibu saya lagi, saya seperti hidup kembali," kata Nasir.

Nasir akhirnya berhasil kabur setelah wajahnya terekam dalam salah satu video propaganda yang direkam di Insitut Al Farouq di Raqqa, Suriah, fasilitas pelatihan anak-anak utama bagi ISIS.

Dalam rekaman tersebut, terlihat anak-anak dengan tatapan kosong duduk di barisan depan. Satu anak terlihat gemetar, sementara yang lain tak berani mengangkat pandangannya.

"Untuk jihad! Untuk jihad!" teriak mereka.

Sang pelatih pun berkata, "Insya Allah, dalam beberapa waktu mendatang, mereka akan berada di garis depan pertempuran dengan para orang tak percaya."

Keputusan yang sangat sulit

Ketika para anak yang kabur berhasil mencapai tempat aman di Gweyr, Irak, mereka sudah dalam keadaan kritis.

"Ketika mereka tiba, mereka sangat kurus, tampak tak seperti manusia. Mereka berkata kepada kami bahwa mereka hidup dalam neraka," ucap komandan pasukan Peshmerga, Aziz Abdullah Hadur.

Sebagai komandan pasukan di perbatasan dengan wilayah ISIS, Hadur mengaku sering kali terpaksa terlibat baku tembak dengan anak-anak rekrutan kelompok militan tersebut.

Para jihadi biasanya mengambil posisi beberapa meter dari jembatan rusak di atas sebuah sungai.

"Sering kali ketika kami berhadapan dengan ISIS, kami melihat anak-anak ada di garda depan dan mereka memakai rompi peledak. Otak mereka sudah dicuci," tutur Hadur.

Pasukan Peshmerga tak punya banyak waktu untuk berpikir, apakah anak-anak itu ingin kabur atau mereka dikirim berperang.

"Ketika mereka mencapai wilayah kami, mereka membunuh pasukan kami. Itu adalah keputusan yang sulit. Kalian tidak tahu apa yang harus kalian lakukan karena jika kalian tidak membunuh mereka, mereka akan membunuh kalian," katanya.

Bantuan psikologis

Menurut seorang aktivis Yazidi di kamp Esyan, Khalid Nermo Zedo, anak-anak ini memang tak hanya membutuhkan bantuan material, tapi juga psikologis.

"Mereka sudah sangat menderita. Bisa bayangkan anak berusia 12 tahun atau 10 tahun atau 8 tahun diambil paksa dari ibunya, dibawa ke kamp pelatihan militer, dipaksa membawa senjata, dipaksa masuk Islam, diajarkan bahwa semua yang mereka percaya sejak kecil itu sesat, bahwa orang tua mereka bukan orang percaya?" papar Zedo.

Saking parahnya indoktrinasi tersebut, kata Zedo, salah satu anak bahkan tak mengizinkan siapapun memotong rambutnya karena ISIS melarangnya.

"Beberapa anak bahkan terkejut ketika mendengar kata ISIS. Mereka sangat terkejut mendengar kata itu. Ini semua sangat berbahaya," kata Zedo.

Menurut Zedo, bantuan psikologis adalah kebutuhan utama di kamp Esyan. Namun, tak ada satupun orang yang mumpuni di sana.

"Kami tidak memiliki kapasitas tersebut di sini. Kami butuh dunia untuk membantu kami. Kami tidak dapat melakukan ini sendiri," ucapnya. (stu/stu)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER