Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Dalam Negeri dan Hukum Singapura, Kasiviswanathan Shanmugam menyatakan bahwa kemunculan kelompok militan yang kerap menebarkan teror berbasis agama, seperti ISIS, merupakan akibat dari kegagalan para pemimpin sebelumnya di kawasan Asia Tenggara. Kegagalan itu, menurutnya, menjadikan Asia Tenggara ladang yang subur untuk terorisme.
Berpidato dalam sebuah simposium kedua pada Selasa (19/1) Shanmugam memaparkan kegagalan ini termasuk "eksploitasi sinis" terhadap ras dan agama oleh beberapa pemimpin sekuler dan agama. Selain itu, kegagalan ini juga melingkupi kurangnya fokus pada pengembangan dan pendidikan oleh berbagai pemerintah terkait, serta kurangnya komitmen multi-etnis yang kuat.
Kegagalan ini, lanjut Shanmugam, diperburuk dalam beberapa tahun terakhir dengan munculnya ISIS di Timur Tengah. Shanmugam juga menyebut serangan teror di Jakarta pekan lalu terkait dengan ISIS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tumbuh suburnya pengkhotbah karismatik yang menganjurkan intoleransi dan kekerasan; dan ketersediaan ajaran yang menjunjung teror, kekerasan, pemenggalan kepala di internet--sejumlah peristiwa internasional ini menjadi tren yang sempurna dengan ladang subur di wilayah ini untuk melahirkan kekerasan dan teror," kata Shanmugam, dikutip dari
Channel NewsAsia.
"Orang-orang fanatik ingin menggulingkan pemerintah terpilih dan membangun Khilafah. Di balik semua itu ada keinginan yang sama, mereka yang menyebarkan ide teror termotivasi oleh kekuasaan. Mereka memanfaatkan isu yang dianggap penting oleh umat Islam untuk mencapai ambisi politik mereka," ujar Shanmugam.
"Idelogi ini tidak akan menang pada akhirnya. Namun akibat dari pertumpahan darah dan penderitaan akan sangat fatal," tutur Shanmugam menambahkan.
Bibit TerorisSelain menyinggung soal bom di Jakarta, Shanmugam juga menyinggung sejumlah serangan yang terinspirasi ISIS di Malaysia, yang menurutnya sangat "mengganggu."
Sejumlah orang ditangkap karena terkait dengan serangan tersebut, termasuk personel angkatan bersenjata dan pasukan keamanan, yakni komandan pasukan, polisi, pegawai negeri dan petugas kesehatan, kata Shanmugam memaparkan.
"Mereka memiliki akses ke senjata, lokasi sensitif dan informasi. Mereka akan menjadi ancaman keamanan yang parah," tutur Shanmugam.
Dia mengutip survei yang dilakukan oleh Pew Research Centre yang menunjukkan bahwa satu dari sepuluh warga Malaysia memiliki opini yang baik tentang ISIS. Hal ini dapat dijadikan contoh bertumbuhnya pandangan ekstremisme dan kekerasan di negara itu.
Shanmugam memaparkan bahwa Indonesia belum memiliki kerangka hukum preventif yang dapat digunakan untuk melawan teroris. Penjara di Indonesia juga diduga kuat menjadi lahan perekrutan ISIS.
Sementara di Thailand, Filipina dan Myanmar, keluhan dan kondisi sosial-ekonomi dari minoritas Muslim dapat menambah potensi ancaman teror, menurut Shanmugam.
"Banyak nilai-nilai sosial modern kita berasal dari keyakinan agama. Bagaimana masyarakat terstruktur, tunduk hukum. bermoral dan pembentukan peradaban secara keseluruhan tak lepas dari keyakinan agama. Tapi, organisasi agama berperan dalam mendorong intoleransi, fanatisme, dan pelanggaran HAM bagi pemeluk keyakinan berbeda untuk berdoa," katanya.
"Agama kembali bangkit dengan semangat baru, yakni sebagai kekuatan untuk kebaikan. Namun di tangan beberapa orang, [agama menjadi] alat untuk meneror," tutur Shanmugam.
(ama/stu)