Jakarta, CNN Indonesia -- ISIS mulai memperkuat basisnya di Libya. Mereka menawarkan bonus awal US$1.000 atau setara Rp13,6 juta bagi warga negara miskin sekitar Libya, seperti Chad, Mali, dan Sudan yang mau direkrut menjadi militan.
Seperti dilansir
The Telegraph, tawaran ini bisa jadi sangat menggiurkan bagi warga yang rata-rata hanya mendapatkan upah US$1 dalam sehari.
Para pejabat Libya pun mengakui bahwa mereka hampir kehilangan kemampuan untuk menghentikan arus militan baru dari luar negeri. Pasalnya, mereka sering kali masuk melalui jalur penyelundupan manusia yang digunakan oleh imigran Afrika menuju Eropa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
ISIS mengadopsi strategi yang digunakan oleh mantan pemimpin Libya, Gaddafi. Gaddafi disebut merekrut ribuan tentara bayaran dari Afrika untuk bergabung dengan pasukannya demi menekan revolusi yang ingin melengserkannya.
Kini, "khilafah" baru ISIS di Libya juga menggunakan kampung halaman Gaddafi, Sirte, untuk menampung militan Afrika yang akan bertarung di bawah kepemimpinan pasukan ISIS di Suriah dan Irak.
"Imigrasi ilegal adalah ancaman karena membawa dan memberanikan militan asing untuk datang dan bertempur dengan ISIS. Kebanyakan imigran mau pergi ke Eropa, tapi beberapa di antaranya mau mengikat hubungan dengan ISIS. Sayangnya di Libya, kami berada di tengah-tengah arus tersebut," ujar kepala polisi senior Kota Misrata, Muncif al Walda.
Walda melontarkan komentar ini setelah Inggris dan Amerika Serikat mendesak pemerintah Libya untuk menerima bantuan militer Barat demi melawan ancaman ISIS yang terus meningkat.
Inggris dan AS sudah menawarkan Tripoli paket yang dapat mencakup 1.000 tentara Inggris dan 5.000 tentara Italia untuk melatih pasukan Libya.
Namun hingga kini, pemerintah Libya sedang mempelajari dampak politik dari kehadiran Barat di medan perang. Meskipun berhasil mengatasi kerusuhan saat menggulingkan Gaddafi, aparat keamanan Libya dikhawatirkan tak cukup mumpuni untuk melawan ISIS.
Sejak menjejakkan kakinya tahun lalu, ISIS diyakini telah membangun kekuatan hingga memiliki 2.000-3.000 militan. Mereka mengubah kota pelabuhan Libya menjadi seperti benteng mereka di Raqqa, Suriah.
Menurut kepala intelijen militer Misrata, Ismail Shukri, sekitar 70 persen tentara ISIS di Sirte terdiri dari warga asing.
"Mayoritasnya, saya tidak bisa menjabarkan berapa banyak, dari Tunisia, sementara sisanya kebanyakan dari Sudan, Mesir, negara-negara Sub-Sahara, mulai dari Chad hingga Nigeria, beberapa dari Aljazair dan negara Teluk," tutur Shukri.
Kekuatan para militan asing ini juga tidak dapat dipandang sebelah mata. April tahun lalu, seorang pria yang diduga warga Sudan mengendarai mobil berbahan peledak melewati pos penjagaan antara Sirte dan Misrata, menewaskan setidaknya enam orang.
Melihat bahaya yang kian nyata, pejabat Libya justru meminta negara Barat untuk lebih serius mengatasi masalah migrasi. Menurut mereka, benua Eropa merupakan daya tarik bagi para militan untuk melakukan teror.
"Ketika beberapa imigran datang melalui Libya melakukan aksi teror di Eropa, dunia akan memerhatikan," kata Walda.
(stu/stu)