Jakarta, CNN Indonesia -- Baku tembak tak terlihat lagi di hampir seluruh daerah barat Suriah pada Sabtu (27/2) setelah kesepakatan gencatan senjata antara Rusia dan Amerika Serikat diterima oleh pihak berkonflik.
Kelompok pemantau Syrian Observatory for Human Rights mengatakan bahwa situasi tenang tersebut tercipta tepat setelah tengah malam, sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
"Di Damaskus dan sekitarnya, untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun, ada ketenangan," ujar Direktur Syrian Observatory for Human Rights, Rami Abdulrahman, seperti dikutip
Reuters.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Abdulrahman, pangkalan-pangkalan udara yang biasa dijadikan markas bagi pesawat Rusia juga terpantau tenang. "Di Latakia, tenang, Di pangakalan udara Hmeimim, tidak ada aktivitas pesawat," ucap Abdulrahman.
Sementara itu, di Aleppo masih terdengar beberapa tembakan senjata selepas tengah malam. Kelompok pemantau juga mendengar beberapa ledakan di Homs. Namun, Abdulraham tak paham betul apa penyebab letupan tersebut.
Sebelum kesepakatan gencatan senjata ini disetujui oleh pihak bertikai, yaitu pemerintah Suriah dan pemberontak, baku hantam terus terjadi di berbagai daerah.
Hanya berselang beberapa jam sebelum perjanjian disepakati, setidaknya 40 tentara pemerintah dan personel sekutu serta 18 pemberontak tewas dalam pertempuran dan serangan udara di Latakia.
Di Aleppo, enam orang tewas akibat serangan udara. Di dekat Damaskus, puluhan serangan udara menghujani Daraya. Tim penyelamat mengatakan bahwa setidaknya lima orang tewas di Douma.
Pada Jumat (26/2), suasana memang panas. Front Nusra menginstruksikan peningkatan gempuran karena menganggap kesepakatan gencatan senjata yang ditawarkan AS dan Rusia sangat rapuh.
Dalam tawaran kesepaktan tersebut, pemerintah dan kelompok pemberontak diharap menghentikan perang agar Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat menyalurkan bantuan kepada warga sipil dan perundingan damai dilanjutkan.
Pemerintah Suriah kemudian mengatakan bahwa rencana gencatan senjata tak akan berjalan jika negara asing terus memasok senjata bagi kelompok pemberontak.
Salah satu kelompok oposisi yang didukung Arab Saudi mengatakan bahwa mereka sebenarnya mau menerima perjanjian gencatan senjata selama dua pekan. Namun, kelompok ini khawatir pemerintah dan sekutunya akan tetap menggempur faksi oposisi dengan dalih bahwa mereka adalah teroris.
Milisi Kurdi YPG yang didukung AS dan kelompok pemberontak sekutu Turki akhirnya menyetujui rencana gencatan senjata dengan syarat berhak merespons jika diserang.
(stu/stu)