Drone HIV Pertama Diluncurkan di Malawi

Elvina Rosita | CNN Indonesia
Jumat, 18 Mar 2016 09:44 WIB
Drone yang dapat mengantarkan hasil tes HIV itu diharapkan dapat membantu masyarakat Malawi mendapatkan hasil tes dengan lebih cepat.
Drone yang dapat mengantarkan hasil tes HIV itu diharapkan dapat membantu masyarakat Malawi mendapatkan hasil tes dengan lebih cepat. (www.unicef.org)
Jakarta, CNN Indonesia -- Berbagai reaksi terlihat di kerumunan warga ketika mereka mengamati sebuah objek yang terbang melayang dan perlahan turun ke permukaan tanah,yang menyapu debu-debu kecil saat mendarat. Kerumunan warga yang berada di luar sebuah klinik di ibu kota Malawi, Lilongwe, itu menyaksikan penerbangan perdana pesawat nirawak berwarna putih dan berukuran kecil.

Para pejabat Malawi mengungkapkan sebelum penerbangan drone, pihaknya menggelar doa dan merilis pernyataan bahwa pesawat itu tidak dipengaruhi oleh ilmu sihir. Ketika drone melayang di atas kepala mereka, sebagian warga bersorak, sebagian lainnya nampak takut drone itu akan mengenai mereka sehingga mereka menjauh dan melidungi kepala.

"Saya beruntung tahu itu [benda] apa. [Jika tidak] saya akan berpikir bahwa ini sebuah bom atau tanda awal perang," kata Scholastic Billiard, seorang wanita hamil yang tengah menyaksikan drone, dikutip dari Vice, Kamis (17/3).
Pesawat nirawak itu dibuat sebagai bagian dari program UNICEF untuk mengirimkan tes HIV dan hasilnya kepada penduduk Malawi, salah satu negara dengan tingkat HIV tertinggi di dunia, dengan sekitar 15 persen orang dewasa di negara itu terjangkit virus mematikan tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, diperkirakan 170 ribu anak di negara itu juga positif HIV, sementara setengah orang dewasa yang berusia 15 hingga 18 tahun di Malawi dilaporkan terinfeksi HIV.

Kondisi ini membuat angka kematian karena AIDS tinggi di Malawi. Pada 2014 saja, sekitar 33 ribu warga Malawi tewas karena komplikasi AIDS, termasuk 10 ribu anak-anak, menurut data UNAIDS. Sebagian besar korban tewas tidak terdiagnosa atau kurang mendapat akses obat antiretrovial.
"Ini adalah ide yang bagus, karena warga akan mendapatkan hasil (tes HIV) lebih cepat," kata Billiard sembari mengungkapkan bahwa dia mengetahui sejumlah warga harus berjalan berkilo-kilometer untuk melakukan tes HIV dan menunggu hingga seminggu atau bahkan berbulan-bulan untuk mengetahui hasilnya.

Tes darah pada orang dewasa lebih sederhana ketimbang mendiagnosis bayi yang membutuhkan proses yang kompleks. Tes HIV untuk bayi membutuhkan sampel DNA yang dikirim dari klinik pedesaan ke salah satu dari delapan klinik yang menggelar tes HIV di Malawi.

Menurut para pekerja klinik, sejumlah ibu yang positif HIV harus menunggu berbulan-bulan untuk mengetahui hasil apakah bayi mereka juga terjangkit virus HIV. Tak jarang, mereka harus berjalan lebih dari dua jam hanya untuk mengetahui bahwa hasil tes HIV mereka belum diantarkan dari klinik besar.
Petugas klinik setempat menyatakan kondisi yang sulit ini membuat sebagian besar warga menyerah. Padahal, virus tersebut menyebabkan sepertiga bayi yang terjangkit virus bahkan sebelum mereka berumur satu tahun. Dalam kondisi ini, terlambat mengetahui hasil tes dan akses obat antiretrovial kerap kali berujung kepada kematian bayi yang terjangkit virus HIV.

"Bayangkan, jika kamu seorang ibu, dan kamu harus menunggu selama enam bulan untuk mengetahui apakah anak kamu positif HIV atau tidak? Itu sangat mengerikan." ujar Mahimbo Mdoe, Perwakilan UNICEF di Malawi.

Mdoe berharap drone ini dapat memangkas biaya transportasi untuk tes HIV hingga "setidaknya setengah."

"Kebutuhan memicu berbagai inovasi. Dan saat ini, Malawi sedang melakukannya," kata Mdoe.

Di sebuah klinik di Lilongwe, seorang suster bernama Gift Dombolo tersenyum saat melihat pesawat tanpa awak terbang mengikuti arah ponsel pintarnya. Drone itu masih dalam tahap uji coba, tetapi jika semua berjalan dengan baik, sejumlah drone dapat membawa sekitar 250 hasil tes HIV ke sejumlah tempat berbeda.

Untuk para pekerja seperti Dombolo, inovasi ini dapat menangani sistem pengiriman hasil tes yang lambat. "Masalah bensin dan kemacetan dapat diatasi, (drone) mengalahkan semuanya." ujarnya.

Meski begitu, Dumbolo merasa khawatir dengan drone itu akan memicu takhayul di masyarakat. Pasalnya, tiga perempat penduduk Malawi masih mempercayai ilmu sihir dan warga yang diyakini mempraktikkan ilmu sihir dapat diadili.
Dumbolo khawatir drone yang mendarat di tanah mereka dapat dilihat sebagai "ilmu sihir atau sesuatu dari setan."

Menurut laporan dari kantor berita Malawi pada September, warga gempar setelah seorang pria mengaku melihat "pesawat sihir" menabrak halaman rumahnya pada pagi hari. Kejadian ini memunculkan debat tentang apakah benda itu merupakan benda sihir.

"Mereka harus tahu benda yang terbang di atas mereka, karena mereka memiliki rasa takut," ujar Daniel Nyirenda, seorang pertugas kesehatan di klinik HIV untuk ibu dan aanak di Malawi.

Klinik tempatnya bekerja merawat lebih dari 350 pasien, jumlah yang sangat meningkat ketimbang tahun 2010 dengan hanya tujuh pasien.

Sementara, sejumlah pasiennya menyerah dan tak lagi melakukan perjalanan jauh untuk mengambil obat antiretroviral di klinik itu. Kondisi ini memicu UNICEF mengembangkan program drone HIV.

untuk menghilangkan dugaan ilmu sihir terhadap drone HIV, UNICEF telah melaksakan kampanye kesadaran drone di Malawi. Jim O' SUllivan, pilot yang juga teknisi drone dari Matternet, perusahaan pembuat drone uji HIV dan berbasis di California ini mengatakan sejauh ini reaksi masyarakat mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat.

"Anak-anak sangat menyukainya. Ketika mereka melihat pesawat itu terbang, mereka akan bersorak. Kita tidak melihat adanya ketakutan tentang drone itu," ujarnya. (ama)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER