Amnesty: Turki Kirim Warga Suriah ke Zona Perang

Amanda Puspita Sari/Reuters | CNN Indonesia
Jumat, 01 Apr 2016 10:33 WIB
Laporan Amnesty menunjukkan dalam beberapa bulan terakhir Turki mengirimkan kembali ribuan warga Suriah ke tanah air mereka yang dilanda perang.
Laporan Amnesty menunjukkan dalam beberapa bulan terakhir Turki mengirimkan kembali ribuan warga Suriah ke tanah air mereka yang dilanda perang. (Reuters/Stringer)
Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga pemerhati HAM, Amnesty Internasional, melaporkan bahwa Turki dalam beberapa bulan terakhir mengirimkan kembali ribuan warga Suriah ke tanah air mereka yang tengah dilanda perang secara ilegal.

Laporan Amnesty yang dirilis pada Jumat (1/4) ini meningkatkan kekhawatiran akan nasib para imigran Suriah di Eropa yang akan ditempatkan di Turki, di bawah kesepakatan yang akan mulai diberlakukan pekan depan.

Melalui kesepakatan itu, Turki menyetujui usul Uni Eropa untuk menampung kembali seluruh imigran dan pengungsi yang menyeberang secara ilegal ke Yunani. Sebagai timbal balik, Uni Eropa akan memberikan bantuan keuangan kepada Turki, memberikan bebas visa wisata lebih cepat untuk warga Turki, dan mempercepat diskusi soal upaya Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa.
Tapi legalitas dari kesepakatan itu bergantung pada kemampuan Turki untuk menjadi negara yang aman untuk para pencari suaka. Hal ini, menurut laporan Amnesty, belum terbukti.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Laporan Amnesty juga menunjukkan bahwa terdapat kemungkinan bahwa beberapa ribu pengungsi dikirim secara massal kembali ke Suriah dalam tujuh hingga sembilan pekan terakhir. Hal ini tentu saja melanggar hukum Turki, Uni Eropa maupun hukum internasional.

"Dalam keputusasaan mereka untuk menutup perbatasan mereka, para pemimpin Uni Eropa dengan sengaja mengabaikan fakta sederhana: Turki bukanlah negara yang aman bagi para pengungsi Suriah dan semakin kurang aman dari hari ke hari," kata John Dalhuisen, Direktur Amnesty International untuk Eropa dan Asia Tengah.
Terkait laporan Amnesty, Kementerian Luar Negeri Turki membantah mengirimkan kembali warga Suriah tanpa keinginan mereka sendiri. Turki mengklaim pihaknya menerapkan kebijakan "pintu terbuka" untuk imigran Suriah selama lima tahun terakhir.

Turki juga mengklaim telah memberlakukan prinsip untuk tidak mengembalikan pengungsi ke negara mereka jika terdapat kemungkinan mereka akan menghadapi penganiayaan.

"Tak satu pun warga Suriah yang meminta perlindungan negara kami dikirim kembali ke negara mereka dengan paksa, sejalan dengan hukum internasional dan nasional," kata seorang pejabat kementerian luar negeri kepada Reuters.

Namun, dalam laporannya, Amnesty membeberkan kesaksian yang mereka kumpulkan di provinsi perbatasan selatan Turki yang menyatakan bahwa pihak berwenang telah mengumpulkan dan mengusir sekelompok warga Suriah yang berjumlah sekitar 100 orang, termasuk wanita dan anak-anak, hampir setiap hari sejak pertengahan Januari.
Sebagian besar warga Suriah yang dikirimkan kembali merupakan pengungsi yang terdaftar. Meski demikian, Amnesty menyebutkan bahwa sejumlah pengungsi Suriah yang terdaftar juga dikirimkan kembali ke Suriah ketika ditemukan tidak membawa surat-surat mereka.

Selain itu, laporan Amnesty juga menyebutkan bahwa pemerintah Turki memindahkan proses registrasi pengungsi ke provinsi di perbatasan selatan. Pemindahan ini menyebabkan pengungsi Suriah yang tak terdaftar tidak memiliki akses terhadap sejumlah kebutuhan dasar, seperti akses kesehatan dan pendidikan.

Berdasarkan kesepakatan dengan Uni Eropa, Turki seharusnya menampung kembali imigran Suriah dari Yunani pada 4 April 2016, namun hingga saat ini belum jelas berapa banyak imigran yang akan ditampung, bagaimana prosesnya dan di mana mereka akan ditempatkan.

Tujuan kesepakatan ini adalah untuk menutup rute utama yang telah dilewati sekitar satu juta imigran dan pengungsi, yakni melalui Laut Aegean menuju Yunani tahun lalu, sebelum mencabai negara-negara Eropa lainnya, seperti Jerman dan Swedia.

"Pengembalian pengungsi Suriah yang telah kami dokumentasikan ini menyoroti kesalahan fatal dalam kesepakatan Uni Eropa-Turki. Ini adalah kesepakatan yang dilaksanakan dengan keras hati dan mengabaikan hukum internasional," kata Dalhuisen. (ama/stu)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER