Jakarta, CNN Indonesia -- Warga Suriah memberikan hak suaranya dalam pemilihan parlemen di daerah yang dikuasai pemerintah. Pemilu ini, menurut para pemilih, dinilai sebagai upaya untuk menunjukkan dukungan terhadap Presiden Bashar al-Assad yang kerap didesak untuk mundur oleh publik internasional dan kelompok oposisi.
Pemilu ini digelar di tengah upaya perundingan damai yang didukung oleh PBB untuk menemukan solusi politik atas perang saudara yang sudah berkecamuk selama lima tahun di Suriah.
Pemerintah Suriah mengklaim pemilu ini diadakan tepat waktu dan sejalan dengan konstitusi. Sementara, pihak oposisi menilai pemilu ini tidak sah, begitu pula dengan negara-negara Barat, seperti Inggris dan Perancis, yang menilai pemilu ini "palsu."
"Kami memilih untuk kepentingan rakyat Suriah dan demi Assad. Assad sudah kuat tapi pemilihan ini menunjukkan bahwa orang-orang mendukung dia dan memperkuat dirinya," kata Hadi Jumaa, seorang mahasiswa berusia 19 tahun ketika menggunakan hak suaranya di bilik suara di lingkungan universitasnya di Damaskus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Puluhan warga Suriah terlihat antri untuk memilih di salah satu bilik suara, di mana foto Assad tergantung di dinding.
Pemilu ini tak dilewatkan oleh Assad untuk menunjukkan partisipasinya. Bersama istrinya Asma, Assad terlihat tersenyum kepada kamera stasiun televisi milik pemerintah di bilik suara di Damaskus.
Assad menyatakan bahwa terorisme mampu menghancurkan banyak infrastruktur Suriah, tetapi tidak "struktur sosial, identitas nasional" Suriah. Ini merupakan kali pertama bagi Assad untuk berpartisipasi dalam pemilihan parlemen.
Perang saudara Suriah telah menewaskan lebih dari 250ribu orang dan menyebabkan jutaan lainnya mengungsi, utamanya ke Eropa.
Suriah pun menjadi negara dengan kekuasaan yang terbelah-belah, antara pemerintah, pemberontak, milisi Kurdi dan kelompok militan seperti ISIS dan Front al-Nusra yang terkait dengan al-Qaidah.
Pemerintah Suriah kini menguasai sekitar sepertiga dari Suriah, termasuk sejumlah kota utama di Suriah barat.
Dengan parlemen yang dipilih setiap empat tahun, ini merupakan pemilihan umum parlemen kedua yang diselenggarakan oleh pemerintah Suriah dalam masa perang. Assad terpilih kembali sebagai kepala negara dalam pemilihan presiden pada 2014.
Pemilih menggunakan hak suara mereka dalam memilih 250 anggota parlemen, yang tidak memiliki kekuatan nyata dalam sistem presidensial Suriah.
"Pemilihan ini tidak berarti apa-apa," kata Asaad al-Zoubi, ketua kelompok oposisi utama, Dewan Negosiasi tinggi dalam perundingan damai Suriah.
"Ini tidak sah dan hanya kepura-puraan demi penundaan, ketika rezim mencoba menunjukkan mereka memiliki sedikit legitimasi," ujarnya.
Sejumlah negara Barat menentang pemilu ini dan menentang kepemimpinan Assad. Barat menilai pemilu ini tidak sejalan dengan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan pemilu seharusnya digelar pada akhir transisi, yang akan berlangsung selama 18 bulan.
Namun, sekutu Suriah, terutama Rusia, menyatakan pemilu ini sejalan dengan konstitusi, dan diperlukan untuk menghindari kekosongan kekuasaan.
Sementara, warga Suriah yang tinggal di daerah yang dikuasai oposisi tak mengikuti pemilu.
"Kami dulu dipaksa untuk memberikan suara kami dalam pemilu palsu. Sekarang, kita tidak lagi wajib mengikutinya. Setelah semua pembunuhan ini, mereka ingin membuat sebuah drama yang disebut pemilu," kata Yousef Doumani, warga di daerah Ghouta di dekat Damaskus, sebelah timur Suriah yang dikuasai pemberontak.
(ama)