Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden terpilih Filipina, Rodrigo Duterte, menegaskan ia tak akan meminta maaf atas pernyataanya yang membenarkan pembunuhan terhadap jurnalis yang korup. Meski pernyataannya itu mendapat kecaman dari sejumlah kelompok media, Duterte bersikeras bahwa beberapa jurnalis di negaranya bagaikan "burung bangkai."
Kritik terhadap awak media Filipina pertama kali dilontarkan Duterte pada Selasa (31/5) pada sebuah konferensi pers. Saat ditanya mengenai cara pemerintahannya melindungi kebebasan pers, Duterte mengatakan bahwa jurnalis yang terbunuh dalam tugas biasanya korup dan suka menerima suap.
"Hanya karena Anda jurnalis, tidak berarti bebas dari pembunuhan jika Anda adalah bajingan. Kebebasan berekspresi tidak bisa membantumu jika kau melakukan sesuatu yang salah," kata Duterte, dikutip
CNN.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Komentar Duterte disambut negatif oleh berbagai pihak. Pasalnya, sekitar 175 jurnalis dibunuh di Filipina sejak 1986, membuat negara itu menjadi salah satu negara paling berbahaya bagi wartawan.
"Tidak ada permintaan maaf, tidak ada apa pun," kata Duterte kepada wartawan pada konferensi pers, Kamis (2/6).
"Saya hanya memberitahu Anda apa adanya. Tidak ada permintaan maaf. Omong kosong," ujar Duterte, dikutip dari
Reuters.
Duterte memaparkan bahwa terdapat tiga macam wartawan di Filipina, yakni wartawan yang berjuang untuk mengungkapkan segalanya ke publik, jurnalis yang hanya menjadi corong kepentingan pribadi, dan selebihnya mereka yang seperti "burung bangkai berpura-pura menjadi wartawan."
"Jangan pernah berpikir Anda benar-benar murni," katanya.
Duterte menyatakan wartawan sejati bagaikan pejuang yang siap mati demi mengekspos suatu kesalahan. "Saya tak bisa melindungi Anda," katanya, sembari menambahkan bahwa tidak mungkin ia menugaskan seorang perwira polisi untuk menjaga setiap wartawan di Filipina.
Duterte sendiri mengakui bahwa dia pernah membayar beberapa wartawan dengan uang dan bantuan lainnya, namun tidak menganggap hal itu merupakan tindakan korupsi, karena semata hanya upaya humas.
"Jangan paksa saya dengan kode etik Anda," katanya, ketika ditanya apakah ia akan mengubah perilakunya ketika menjabat sebagai presiden menggantikan petahana Benigno Aquino pada 30 Juni mendatang.
"Saya tidak pernah menandatangani apa pun yang mengharuskan saya harus berperilaku sesuai dengan cara itu," ujarnya.
Komentar Duterte yang membenarkan pembunuhan jurnalis dikecam oleh sejumlah kelompok media, antara lain Persatuan Nasional Jurnalis Filipina, Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) dan Reporter Lintas Batas.
Ketua Persatuan Nasional Jurnalis Filipina, Ryan Rosuaro, mengatakan bahwa kebebasan media dan pembunuhan jurnalis bukan sebuah banyolan.
"Sangat mengerikan melihat Presiden terpilih, Rodrigo Duterte, harus membenarkan pembunuhan jurnalis di negara ini dengan memainkan kartu korupsi," ucap Rosuaro.
Duterte kerap menyampaikan komentar kontroversial, mulai dari menyebut uskup sebagai "anak pelacur" hingga berkelakar mengenai korban perkosaan.
Pada Selasa (31/5), Duterte, dikecam dan dituduh melakukan pelecehan seksual setelah bersiul kepada seorang wartawan wanita yang tengah mengajukan pertanyaan kepadanya pada sebuah konferensi pers yang disiarkan di televisi nasional.
Terkait tuduhan ini, Duterte menyebut bahwa siulannya tersebut "kebebasan berekspresi."
(ama)